Pernyataan pembuka:
Saya mengagumi Kiyai Besar kita, yang mengatakan bahwa: “Masyarakat perlu memahami, bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang harus diterima, dan tidak dijadikan masalah”. (KH. Hasyim Muzadi).
*Cara memahami dalil*
1. Dalil (Al-Qur’an dan Hadits shahih) dikembalikan kepada penggunaan setiap istilah, sepanjang dapat ditemukan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits shahih lainnya
Contoh:
*Shumu li ru’yatii*
*Ru’yatii*, berasal dari kata *ra-a* (makna leksikal *melihat*).
Penggunaannya dalam Al-Qur’an:
*Ara-ai ta lladzi yukadzzibu bi-ddin*
Makna leksikal: apakah kamu *melihat* yang mendustakan agama
Maksud ayat: apakah kamu *mengetahui* yang mendustakan agama
Jadi:
*ra-a* yang arti leksikalnya *melihat*, maksud sebenarnya *mengetahui*
Sehingga:
*Shumu li ru’yatii*
Arti leksikalnya: berpuasalah jika kamu *melihat* (sudah masuk bulan Ramadhan)
Maksudnya:
berpuasalah jika kamu *mengetahui* (sudah masuk bulan Ramadhan)
2. Penjelasan dalam Al-Qur’an dan Hadits shahih terdiri atas:
• rukun ibadah
• cara melakukan ibadah
*Rukun ibadah* kita ikuti *persis* dengan cara Rasulullah SAW melakukannya.
*Cara melakukan ibadah* kita dalami maksudnya, sehingga ada kemungkinan:
• Rasulullah SAW mengajarkan suatu cara yang *bisa dilakukan umat* pada zaman beliau, sesuai dengan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa itu.
Allah SWT MAHA KUASA, memberi petunjuk kepada Rasul-Nya untuk menggunakan cara sesuai teknologi termaju sekalipun, namun Allah SWT MAHA TAHU, bahwa umat pada zaman Rasulullah SAW masih berada pada tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu.
Karena itu, kita di masa kini, boleh menggunakan *cara yang lebih baik* sesuai tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini.
Contoh:
وَقْتُ اَلظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ اَلشَّمْسُ, وَكَانَ ظِلُّ اَلرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ اَلْعَصْرُ
“Waktu dhuhur adalah pada saat matahari sudah tergelincir, sampai bayangan seseorang sama dengan tinggi badannya”.
Itulah cara mengetahui waktu dhuhur yang bisa dilakukan umat pada zaman Rasulullah SAW.
Kita di masa kini *boleh menggunakan perhitungan jam, menit, detik*.
Jadi:
• Rukun shalat kita lakukan persis Rasulullah SAW melakukannya
• Cara mengetahui waktu shalat kita gunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
*Dalil dan pemahaman*
1. Perbedaan tentang pengertian hilal
• Sebagian orang memahami *hilal* sebagai *berkas cahaya*
Alasan: Rasulullah SAW mengajak para sahabatnya untuk beramai-ramai *melihat hilal*, dan *patut dapat diduga* bahwa yang terlihat pada waktu itu adalah berkas cahaya
• Muhammadiyah memahami hilal sebagai *tanda masuknya bulan baru* sebagai pedoman ibadah puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, berdasarkan penjelasan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 189:
يَسـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakan bahwa itu tanda waktu bagi manusia”.
Mengapa Rasulullah SAW mengajak para sahabatnya untuk beramai-ramai melihat hilal, dan mungkin yang mereka lihat adalah berkas cahaya?
Kembali pada itulah cara yang bisa dilakukan umat pada zaman beliau.
Di masa kini, kita *boleh menggunakan cara yang lebih baik* untuk mengetahui kapan bulan baru sudah masuk.
Dampak dari perbedaan *pengertian hilal* ini cukup berpengaruh pada cara yang dilakukan pada saat ini, *meskipun semua pihak sudah menggunakan hisab*.
Sebelum teknologi hisab se-akurat sekarang, banyak orang menggunakan cara lama: *beramai-ramai melihat berkas cahaya*.
Dengan peralatan sederhana (sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi), berkas cahaya di ufuk barat pada tanggal 29 bulan berjalan, *hanya mampu dilihat* ketika hilal sudah mencapai jarak *positif 2 derajat atau lebih di atas ufuk*.
Padahal secara akurat (dengan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini) dapat diukur, bahwa *hilal sudah wujud* kalau jarak hilal sudah (positif) lebih dari nol di atas ufuk.
2. Dalil-dalil yang kita gunakan
(1) Rasulullah SAW bersama para sahabat ramai-ramai melihat berkas cahaya namun menerima kesaksian orang lain, meski tidak semua orang pada saat itu melihatnya.
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa”. (Banyak hadits shahih yang senada dengan ini. Teks ini dari Mushhaf Abu Dawud, hadits no.2342).
(2) Rasulullah SAW mengakui tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa beliau.
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Belum cukup kepustakaan dan belum mampu berhitung secara meyakinkan tentang ini dan itu”. (Terdapat dalam Mushhaf Al-Bukhari, hadits no.1913 dan Mushhaf Muslim, hadits no.1080).
(3) Rasulullah SAW memberi petunjuk dengan menggunakan istilah *rukyat* dan *syahid*.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena *rukyat*, dan berbukalah kalian karena *rukyat*, dan ber-qurban lah kalian karenanya pula. Maka jika terhalang maka cukupkan saja 30 hari. Jika ada dua orang yang *syahid*, berpuasa dan berbukalah kalian karenanya”. (Terdapat dalam Mushhaf An Nasai, hadits no.2116)
Catatan:
1. Tentang istilah *rukyat* kita sudah menjelaskan penggunaannya dalam Al-Qur’an dengan makna: *mengetahui”.
2. Tentang istilah *syahid*, berasal dari kata *syahadah*, penggunaan populernya:
*Asy-hadu an laa ilaha, illa-lah*.
Arti leksikalnya: Saya *bersaksi* tiada tuhan selain Allah
Maksudnya: Saya *yakin* tiada tuhan selain Allah.
Jadi
*Syahadah* maksudnya *yakin*.
Karena itu, mereka yang meninggal ketika sedang memperjuangkan keyakinan, dikatakan mati *syahid*, orangnya disebut *syuhada*.
Karena itu, maksud hadits di atas:
Berpuasalah kalian karena *mengetahui*, dan berbukalah kalian karena *mengetahui*, dan ber-qurban lah kalian karenanya pula. Maka jika terhalang maka cukupkan saja 30 hari. Jika ada dua orang yang *yakin*, berpuasa dan berbukalah kalian karenanya”.
3. Pemahaman atas dalil
(1) Pemahaman Muhammadiyah
• Hilal adalah tanda bulan baru yang diukur dengan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini, yaitu *lebih dari nol derajat* dengan sudut elongasi positif.
• Hisab adalah *cara melakukan rukyat* secara akurat.
• Rukyat tidak hanya dilakukan pada tanggal 29 bulan berjalan, tapi *terus-menerus* oleh lembaga yang memang bertugas untuk itu.
Muhammadiyah percaya kepada Lembaga milik negara bernama BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang mengkoordinir LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), karena memiliki beberapa *stasiun penginderaan jarak jauh*. Salah satu bidang pengamatan mereka adalah *pemantauan pergerakan benda langit* (dilakukan secara kontinyu). Hasil pengamatannya disimpan dalam *Bank Data* yang dapat dimanfaatkan *antara lain* untuk *perhitungan kalender*, baik syamsiyah maupun qamariyah.
(2) Pemahaman NU dan MABIMS yang dirujuk Pemerintah RI
• Hilal adalah berkas cahaya yang mungkin dilihat oleh mata manusia, yaitu ketika bulan baru sudah berjarak positif 3 derajat di atas ufuk, dengan sudut elongasi positif 6,4 derajat.
• Cara lama: ramai-ramai melihat berkas cahaya tetap dilakukan.
• Konsekuensinya:
– meskipun bulan baru sudah wujud, belum diakui sebelum jaraknya mencapai positif 3 derajat di atas ufuk
– meskipun ada pengamat yang *mengaku* melihat, tapi jaraknya belum mencapai positif 3 derajat di atas ufuk, itu dianggap *hilal palsu*.
– bahkan, meskipun jaraknya sudah lebih dari 3 derajat, tapi sudut elongasinya tidak sampai 6,4 derajat, belum dianggap.
Pengurus Lembaga Falakiyah PBNU , Ma’rufin Sudibyo, menyatakan: “Berdasarkan pada prasyarat tersebut, maka sesungguhnya pada Rabu 29 Dzulqo’dah 1443 H kelak posisi hilal di seluruh Indonesia tidak ada yang memenuhi kriteria IRNU. Sehingga, apabila terdapat laporan terlihatnya hilal, maka secara kelembagaan akan *ditolak*”. (Lihat pernyataan selengkapnya di https://www.google.com/amp/s/nasional.sindonews.com/newsread/804441/15/tetapkan-hari-raya-idul-adha-pbnu-bakal-gelar-rukyatul-hilal-di-55-lokasi-1655795204).
(3) Pemahaman Pemerintah Arab Saudi
• Hilal adalah berkas cahaya, dan harus terlihat oleh pengamat terpercaya.
• Hisab hanya referensi.
Analisis
Kondisi hilal di Indonesia pada hari Rabu 29 Zulkakdah 1443 H atau 29 Juni 2022 :
• ketinggian hilal tertinggi di Sabang 3,23 derajat di atas ufuk, dan
• terendah di Merauke 0,87 derajat di atas ufuk.
Sedangkan besar sudut elongasi
• terbesar di Banda Aceh 4,97 derajat, dan
• terkecil di Jayapura Papua 4,20 derajat.
Berdasarkan pemahaman masing-masing:
• Muhammadiyah yakin bulan Zulkakdah hanya 29 hari (karena hilal sudah wujud pada sore hari tanggal 29 Zulkakdah).
– tidak ada tanggal 30 Zulkakdah 1443 H
– 1 Zulhijjah 1443 H bertepatan dengan tanggal 30 Juni 2022 M
– 10 Zulhijjah 1443 H bertepatan dengan 9 Juli 2022 M
• Pemerintah RI menganggap ketinggian hilal pada tanggal 29 Zulkakdah *belum memenuhi syarat*, karena itu menggenapkan bulan Zulkakdah 30 hari.
– 30 Zulkakdah 1443 H bertepatan dengan tanggal 30 Juni 2022 M
– 1 Zulhijjah 1443 H bertepatan dengan tanggal 1 Juli 2022 M
– 10 Zulhijjah 1443 H bertepatan dengan 10 Juli 2022 M.
Arab Saudi
Di Arab Saudi, kondisi hilal pada hari Rabu 29 Juni 2022 saat matahari terbenam dengan ketinggi 5 derajat dan besar sudut elongasi sudah mendekati 7 derajat.
Beberapa pengamat yang ditugaskan Pemerintah Arab Saudi mengaku melihat berkas cahaya.
Karena itu:
Pemerintah Arab Saudi yakin bulan Zulkakdah hanya 29 hari (karena hilal sudah wujud pada sore hari tanggal 29 Zulkakdah).
– tidak ada tanggal 30 Zulkakdah 1443 H
– 1 Zulhijjah 1443 H bertepatan dengan tanggal 30 Juni 2022 M
– 10 Zulhijjah 1443 H bertepatan dengan 9 Juli 2022 M.
Tahun ini Pemerintah Arab Saudi sama dengan Muhammadiyah.
Kemungkinan pada tahun-tahun yang akan datang, Pemerintah Arab Saudi bisa berbeda dengan Muhammadiyah, jika pada tanggal 29 bulan berjalan (Syakban, Ramadhan, Zulkakdah):
• ketinggian hilal sudah lebih dari nol derajat di atas ufuk
– pengamat yang ditugaskan Pemerintah Arab Saudi *tidak ada yang mengaku* melihat berkas cahaya.
Kesimpulan:
Pemahaman yang berbeda dapat mengakibatkan hasil yang sama, dapat pula mengakibatkan hasil yang berbeda. Wallahu A’lam. Oleh: Akhmad Firdaus