Search
Close this search box.

Narasi Majene Kota Tua (02)

Muhammad Ridwan Alimuddin, pemerhati sejarah Mandar


Bisa jadi itulah alasan utama sehingga penjajah Belanda ketika memulai pengaruhnya secara efektif di Mandar memilih menjadikan pusat Kerajaan Banggae (Majene), di segitiga Cilallang – Salabose – Tanangang sebagai kawasan pusat pemerintahan Afdeling Mandar di tahun 1905. Kejadian itu berdampak lebih 100 tahun kemudian.
Meski Majene tak menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Barat (terbentuk 2004), tapi pertemuan simbolis penting untuk menjadi provinsi dilakukan di Majene, sebagai simbol ibukota Afdeling Mandar. Yakni ketika diadakan pertemuan para pejuang pembentukan provinsi dan rakyat Mandar di Gedung Assamalewuang Majene, yakni Kongres Nasional I Rakyat Mandar 19 – 21 Januari 2001. Memang sebelumnya sudah pernah diadakan deklarasi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, 10 November 1999 di Galung Lombok. Tapi itu tetap berkaitan dengan Majene, khususnya alasan historis (Peristiwa Panyapuang di Galung Lombok).
Kabarnya, dalam Kongres Nasional I Rakyat Mandar tersebut disepakat pembagian “tema” untuk kabupaten-kabupaten di kawasan Mandar bila Provinsi Sulawesi Barat terbentuk: Mamuju sebagai pusat pemerintahan provinsi, Polewali Mandar pusat kebudayaan, Mamasa pusat pariwisata, Mamuju Tengah dan Utara industri dan perkebunan, dan Majene sebagai Kota Pendidikan.

Amanah buat Majene sebagai Kota Pendidikan tentu tak begitu saja diberikan. Para perumus pembentukan Provinsi Sulawesi Barat pasti mempertimbangkan alasan historis yang melekat dan hanya dimiliki Majene. Yaitu Majene yang dulunya sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan di Mandar. Modal pertama ‘diberikan’ ke Mamuju, tetapi modal kedua tetap di Majene. Maka di-Majene-lah didirikan Universitas Terbuka, Universitas Sulawesi Barat, STAIN dan beberapa lembaga pendidikan milik pemerintah.
Pada rentang tahun 1908 – 1942, cabang atau perwakilan dari pusat perjuangan di Jawa gerakan sosial politik dibentuk di Mandar. Bersama Tinambung (Kerajaan Balanipa) dan Pamboang, dulunya Majene adalah pusat pendidikan dan gerakan politik di Mandar. Yakni Syarikat Islam/Partai Syarikat Islam Indonesia di Pamboang, Majene, Tinambung (Balanipa), Pambusuang, Campalagian, dan Polewali; Muhammadiyah di Majene, Tinambung (Balanipa), Karama, Campalagian, dan Pamboang; Jong Islamieten Bond di Majene, Pamboang, dan Campalagian; Perguruan Taman Siswa di Polewali.
Cabang Gerakan Muhammadiyah berdiri di Majene 1928, di Tinambung Balanipa 1929, dan di Pamboang 1933. Sekaligus lahir bersama bagian keputriannya Aisyiah dan urusan kepemudaan/ kepanduan yang Hizbul Wathan. Muhammadiyah juga membuka sekolah Ibtidaiyah (setingkat SD) di samping Kelompok-Kelompok Tablig/ Dakwah dan usaha-usaha sosial lainnya. Tahun 1933 Muhammadiyah Majene membuka Madrasah Tsanawiyah (SLTP), Muhammadiyah Pamboang membuka Diniyah School (SLTP) 1936. Sebelum Indonesia Merdeka, konferensi Muhammadiyah tingkat Sulawesi Selatan dilaksanakan di Majene yang dihadiri oleh beberapa orang Pimpinan Pusat dari Yogyakarta.
Syarikat Islam adalah cabang/perwakilan organisasi gerakan politik pertama yang berdiri di daerah ini. Berdiri di Majene 1915, Pamboang 1916 (pendapat lain: 1914), dan di Balanipa (Tinambung, Pambusuang, dan Campalagian) dan Polewali 1929-1930, bersamaan dengan organisasi kepanduannya: SIAP (Syarikat Islam Afdeling Pandu). Aksi-aksinya menolak herendienst, rodi, belasting dan lain-lain. Gerakan politik ini menggemparkan penjajah Belanda. Mendorong terjadinya pemberontakan di Pambusuang.
Normal Islam adalah lembaga pendidikan yang didirikan organisasi Persatuan Pendidikan Pitu Baqbana Binanga, 1937. Gurunya ada yang didatangkan dari Padang Panjang, Sumatera Barat, yaitu Al Ustaz H.M.Kasim Bakri (ulama yang terkenal dari Sumatera Barat, penyusun tafsir Al Quran bersama Prof. K.H.Mahmud Junus) dan Idris Saleh. Guru umum tercatat antara lain K.H. Abdullah Mubarak, K.H. Zainal Abidin dan Ambo Tjatja. Ditutup 1942 ketika penjajah Jepang menduduki Indonesia. Jong Islamieten Bond (J.I.B.) didirikan sekitar tahun 1933 di Majene, Pamboang, dan Campalagian. J.I.B., pergerakan pemuda berazas Nasional dan Islam berskala nasional berpusat di Jawa.
NATIPIJ bagian Kepanduan JIB bersama SIAP dan Hizbul Wathan menggalang kekuatan pemuda di Mandar pada waktu itu. Juga ada Gabungan Penjahit Pakaian Indonesia, organisasi yang bergerak di bidang pengumpulan dana di kalangan anggotanya dan para penjahit yang berada di wilayah Majene dan sekitarnya. Dana digunakan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Majene. Didirikan di Majene, 1946 oleh Fatani, M. Aras, Atjo, Karia’, dan kawan-kawannya.
Patut dikenang, Raden Soeradi, seorang guru yang berasal dari Jawa. Meninggal 1946 di Majene karena disiksa dalam sel tahanan di tangsi Belanda. Dimakamkan di Pekuburan Islam Pambelo’. Untuk mengenang sosoknya, di Majene ada jalan Jl. R. Soeradi. Sebagai pusat perjuangan melawan penjajah Belanda, Majene banyak melahirkan pejuang-pejuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Diantaranya Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali.
Belakangan di perlawanan tahun 40-an, ada Djud Pantje dan isterinya Maemuna yang merupakan pimpinan GAPRI 5.3.1, Atjo Benja, Abd. Hae, Hammasa, Sunusi Paqbicara Tangnga, Abdul Latif Ammana Suka, Aco Rame Pawelai, Bali Solo, Roca, Hadade, Surullah, M. Jafar, Makmur, Jalaluddin Tande, Nusiah, Aminah, Nurbiah, H. M.

Idris Radha, Jamaluddin Pangerang, Aco Sinrang, Sultan Sawedi, Kamaruddin, Wahab Anas, Sawawi Yahya, dan lain-lain. Sebagaimana R. Soeradi, sebagian pejuang-pejuang yang dituliskan di atas namanya juga dijadikan sebagai nama jalan. Baik di Majene maupun di beberapa tempat di Sulawesi Barat (Mandar).
Bersambung

……

DPRD Kota Makassar.

355 SulSel

Infografis PilGub Sulbar

debat publik pilgub 2024

Ucapan selamat Walikota makassar

Pengumuman pendaftaran pilgub sulsel

Pilgub Sulsel 2024

https://dprd.makassar.go.id/
https://dprd.makassar.go.id/