Oleh : Muslimin.M
Di suatu negara, pemilihan umum selalu menjadi perhatian serius oleh semua pihak karena di sanalah masa depan negara ditentukan. Tahun ini, pemilu tersebut terancam oleh sebuah skandal yang melibatkan salah satu penyelenggara pemilu, Pak Suryo.
Pak Suryo, seorang pejabat di Komisi Pemilihan Umum (KPU), dikenal sebagai figur yang tegas dan berwibawa. Selama bertahun-tahun, ia memimpin berbagai pemilu dengan lancar dan tanpa masalah berarti. Namun, di balik kesuksesannya, ternyata tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Suatu hari, sebuah laporan mengejutkan muncul di media. Seorang perempuan muda, sebut saja namanya Ana, mengaku bahwa ia menjadi korban pelecehan seksual oleh Pak Suryo. Ana bekerja sebagai staf di KPU dan mengatakan bahwa Pak Suryo sering kali memanfaatkan posisinya untuk melakukan tindakan tidak senonoh terhadapnya.
Berita ini langsung menggemparkan publik. Reaksi masyarakat pun beragam, ada yang percaya dan mendukung Ana, tetapi ada juga yang meragukan kebenaran tuduhannya, mengingat reputasi Pak Suryo yang selama ini tidak ternoda.
KPU segera membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki tuduhan tersebut. Sementara itu, Pak Suryo menyatakan bahwa ia tidak bersalah dan menuduh bahwa ini adalah bagian dari upaya politisasi untuk menjatuhkannya. Namun, semakin dalam tim investigasi menggali, semakin banyak bukti yang menguatkan pengakuan Ana.
Ternyata, Ana bukan satu-satunya korban. Beberapa mantan staf KPU yang telah berhenti bekerja juga maju dan menceritakan pengalaman serupa. Mereka semua mengungkapkan bahwa mereka selama ini takut berbicara karena takut akan dampak pada karier dan kehidupan pribadi mereka.
Kasus ini tidak hanya mencoreng nama baik Pak Suryo, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap KPU. Publik mulai meragukan integritas lembaga yang seharusnya menjaga demokrasi tersebut.
Pada akhirnya, Pak Suryo dinyatakan bersalah dan dipecat dari jabatannya. Ia juga menghadapi tuntutan hukum atas tindakannya. Kasus ini menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya menjaga integritas dan etika, terutama bagi mereka yang memegang tanggung jawab besar dalam proses demokrasi.
KPU kemudian melakukan reformasi besar-besaran untuk memastikan bahwa kasus serupa tidak akan terulang lagi. Mereka memperketat seleksi pegawai, meningkatkan pengawasan internal, dan menyediakan saluran pelaporan yang aman bagi korban pelecehan.
Ana, meskipun mengalami trauma, akhirnya merasa lega karena kebenaran terungkap. Ia menjadi simbol keberanian dan perjuangan melawan ketidakadilan. Ceritanya menginspirasi banyak orang untuk tidak takut berbicara dan melawan pelecehan, apapun risikonya.
Cerita diatas, hanya cerita fiktif belaka, tetapi ada kemiripan kasus yang baru saja terjadi di lembaga penyelenggara pemilu( KPU) di mana sang ketuanya di pecat oleh DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik yaitu Kasus asusila. Pesan moralnya dari cerita itu menggambarkan tentang penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran moral oleh seorang pejabat bisa merusak kepercayaan publik dan institusi yang seharusnya melindungi demokrasi. Hal ini juga menunjukkan pentingnya keadilan dan perlindungan bagi korban pelecehan, serta perlunya reformasi untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Kalau kita berbicara tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, sebetulnya bukan hal baru sebab semua regulasi yang terkait dengan pemilu selalu menyinggung tentang pentingnya kode etik dan moralitas seorang penyelenggara dan itu sudah sangat difahami oleh mereka yang ada didalam lingkaran penyelenggara pemilu tersebut. Secara teori kode etik itu merupakan suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu. Kewajiban atau larangan, tindakan atau ucapan, patut atau tidak patut dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Ketua Bawaslu periode 2012-2017 prof. Muhammad menyatakan bahwa penyelenggara pemilu tidak hanya harus peka terhadap hukum (sense of regulation), tetapi juga harus memiliki kepekaan terhadap etika (sense of ethics).
“Bicara etika, standar nilai yang sangat tinggi. Jauh di atas hukum. Hukum itu tingkatannya jelas, pidana perdata, dan segala macam,” imbuhnya.
Seorang penyelenggara pemilu harus paham terhadap peraturan-peraturan pemilu. Namun yang jauh lebih penting adalah terkait etika. Tidak semua diatur dalam hukum, secara hukum bisa saja benar, akan tetapi tidak patut.“Pemilu yang kurang berkualitas akan melahirkan ketidakpuasan bagi banyak kalangan. Ketidakpuasan itu dapat berdampak pada kurangnya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap pemilu,”.kata prof.muhammad.
Etika dan Moralitas
Pemilihan umum menjadi salah satu ukuran bagi baik buruknya perkembangan demokrasi sebuah
negara. Sedangkan etik menjadi salah satu tolok ukur dalam membangun
demokrasi bermartabat. Demokrasi yang bermartabat dimanifestasikan pada bekerjanya prinsip the rule of law yang di dalamnya mengandung prinsip
dasar berdasar pada etik sebagai basis nilai (values and virtues) tertinggi
dalam hukum positif yang berlaku.
Demokrasi bermartabat dapat dimaknai sebagai praktik demokrasi
yang secara prinsip, pengaturan dan praktik dilandasi oleh fondasi etik yang kuat dan kokoh. Tujuannya agar institusi-institusi demokrasi tidak mengalami perusakan dari dalam yang
diakibatkan oleh faktor manusianya atau sumber daya manusianya. Dalam khasanah teoritik, hubungan antara etika, etik dan demokrasi bukan saja menjadi perdebatan sejak lama, tetapi ketiganya menjadi bagian yang melekat dalam sebuah sistem. Dalam pandangan filsuf Immanuel Kant, individu sebagai warga negara adalah subjek politik sekaligus subjek etik. Gagasan itu yang melandasi mengapa setiap individu harus taat pada hukum formal negara.
Etik dan moralitas adalah konsep-konsep yang erat kaitannya namun memiliki perbedaan dalam penggunaan dan implikasi mereka.
Etika mengacu pada sistem nilai atau prinsip yang digunakan untuk menilai apa yang benar atau salah dalam perilaku atau tindakan. Etika sering kali melibatkan pertimbangan tentang apa yang dianggap baik untuk individu atau masyarakat secara umum.
Etika dalam konteks yang lebih luas, adalah cabang dari filsafat yang mempertimbangkan tentang bagaimana kita seharusnya bertindak dan hidup, mencakup analisis tentang prinsip-prinsip moral, pembenaran tindakan, dan bagaimana nilai-nilai ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Moralitas, merujuk pada seperangkat norma, nilai, dan prinsip yang mengatur perilaku manusia dalam konteks sosial, budaya, atau agama tertentu. Moralitas sering kali bersifat normatif dan diterapkan dalam situasi tertentu untuk menentukan perilaku yang tepat atau tidak tepat.
Etika dan moralitas sering digunakan secara bergantian, etika lebih berkaitan dengan analisis filosofis dan prinsip-prinsip yang mendasari, sedangkan moralitas lebih terkait dengan norma dan nilai-nilai praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Dari perspektif diatas dan kaitan dengan kasus yang menimpa ketua KPU, bisa kita maknai bahwa prinsip etika dan moralitas sudah runtuh pada dirinya, dan itu sudah di uji di DKPP melalui putusannya memberhentikan yang bersangkutan sebagai ketua dan anggota KPU atas dugaan pelanggaran etik berat, dan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengarah ke ranah pidana.
Kita tentu berpandangan optimis bahwa kasus yang terjadi pada ketua KPU tersebut menjadi kasus yang terakhir terjadi pada penyelenggara pemilu, kode etik bagi semua penyelenggara pemilu mesti di junjung tinggi dan menjadikan perisai diri dalam melakukan aktivitas kesehariannya, kita tidak ingin tindakan dan perbuatan oknum yang bersifat pribadi penyelenggara justru merusak reputasi lembaga secara keseluruhan yang begitu susah dan berat dibangunnya, kepercayaan publik menjadi sesuatu yang begitu mahal dan sulit. Kepercayaan rakyat bisa dikatakan diatas segalanya, dan kita tentu sepakat dengan itu dan tidak ingin mencederainya.(**)