Search
Close this search box.

MENGUJI ARAH PENDIDIKAN

Oleh : Muslimin.M

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton sebuah tayangan acara dialog publik disalah satu kanal media sosial dengan tema,,tujuan dan arah pendidikan,.salah seorang peserta bertanya, seperti ini,.kemana sebenarnya arah pendidikan kita ini bergerak ? apakah sekadar mengejar nilai, ijazah, dan gelar ? atau ada makna yang lebih dalam yang sedang kita kejar bersama ?

Pertanyaan peserta diatas tentu saja menarik bagi saya sebab apa yang ditanyakan tersebut menggambarkan kondisi pendidikan beberapa tahun terakhir ini, dan ini cukup penting untuk dianalisis lebih dalam.

Satu hal yang kita harus akui bahwa sistem pendidikan kita begitu banyak mengalami perubahan, terutama dengan munculnya Kurikulum Merdeka dan pendekatan pembelajaran yang lebih fleksibel.Tapi, sayang dalam praktiknya belum semua guru dan sekolah siap berubah.

Meskipun begitu, saya tetap percaya tentang arah pendidikan yang harusnya membawa kita menjadi manusia yang utuh, bukan hanya pintar, tetapi juga peduli, beretika, dan berani bermimpi. Pendidikan harus membekali kita bukan hanya dengan rumus dan teori, tapi juga dengan nilai, empati, dan semangat untuk membuat perubahan.

Dan menariknya bahwa kita memiliki tujuan pendidikan yang mulia membentuk manusia Indonesia yang beriman, berakhlak mulia, cakap, mandiri, serta bertanggung jawab.
Itu bukan sekadar kalimat formal dalam undang-undang, melainkan arah yang seharusnya jadi kompas dalam merancang sistem pendidikan kita. Walaupun dalam praktiknya, banyak sekolah hanya menjadi pabrik nilai dan ijazah. Siswa dipacu mengejar angka, bukan makna.

Saya teringat sebuah tayangan televisi pada seorang siswa di daerah terpencil ia berjalan lima kilometer setiap hari ke sekolah, dengan semangat yang menyala, meski sekolahnya kekurangan guru, fasilitas, bahkan listrik. Sangat beda di kota, anak-anak duduk diruang ber-AC dengan layar interaktif, meskipun begitu tetap tak sedikit yang merasa jenuh, tertekan, bahkan cemas menghadapi ujian nasional dan nilai rapor. Disitulah letak ironi pendidikan kita berbagai wajah, tetapi satu kenyataan, belum merata dan belum menyentuh inti.

Apa maknanya ? ini bukan sekadar transmisi pengetahuan, tapi transformasi manusia. Pendidikan seharusnya membuat seseorang menjadi lebih manusiawi lebih berpikir, lebih peduli, dan lebih siap menghadapi kehidupan. Meskipun realitasnya pendidikan kita belum benar-benar membebaskan. Kita masih mengurung anak-anak dalam bangku yang kaku, sistem yang menekankan hafalan, dan penilaian yang sempit.

Tentu, saya tidak menafikan adanya upaya perbaikan. Program merdeka belajar misalnya, adalah langkah berani. Tapi kebijakan tidak akan efektif bila hanya berhenti di konsep. Selama guru masih dibebani administrasi, selama sekolah di pelosok masih kekurangan tenaga pengajar, dan selama budaya sekolah masih menghargai ranking lebih dari proses belajar, tujuan pendidikan tidak akan tercapai.

Terus terang, saya sering diselimuti pertanyaan untuk siapa pendidikan kita disusun ? apakah untuk birokrasi ? untuk pasar kerja ?, atau untuk manusia itu sendiri ? Jika jawabannya adalah untuk manusia Indonesia seutuhnya, maka seluruh sistem pendidikan harus kembali difokuskan pada pembentukan karakter, kemampuan berpikir kritis, serta kepedulian sosial.

Sejatinya

Badan Pusat Statistik tahun 2023 mencatat, hampir 8 juta anak usia sekolah tidak mengenyam pendidikan formal dengan tuntas. Banyak diantaranya berasal dari keluarga miskin dan tinggal di wilayah terpencil. Sementara, sekolah-sekolah unggulan dikota besar terus berkembang, seakan berjalan didunia yang berbeda.

Lebih dari sekadar ketimpangan akses, kita juga menghadapi masalah relevansi. Dalam banyak kelas, pembelajaran masih berorientasi pada hafalan dan capaian nilai semata. Anak-anak cerdas yang kritis sering dianggap pembangkang. Sistem pendidikan kita belum sepenuhnya memberi ruang bagi keberagaman potensi dan gaya belajar.

Ironisnya,
ditengah kompleksitas zaman yang menuntut fleksibilitas, kreativitas, dan daya saing global, sekolah-sekolah kita justru sibuk mengejar akreditasi dan ranking. Padahal, diluar tembok sekolah, dunia terus berubah cepat dan mereka yang tak mampu beradaptasi akan tertinggal.

Apakah pendidikan kita masih relevan dengan tantangan masa depan ? apakah ia masih setia pada tujuannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, atau justru tersesat dalam birokrasi dan formalitas ?

Pendidikan tidak boleh berjalan sendiri. Negara, masyarakat, guru, orang tua, dan dunia usaha harus duduk bersama merumuskan kembali arah pendidikan kita agar lebih membumi, adil, dan manusiawi. Sebab masa depan bangsa ditentukan oleh bagaimana kita mendidik generasi hari ini.

Jujur saja, saya termasuk generasi yang percaya bahwa pendidikan adalah tangga sosial. Ia dijanjikan sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Orang tua saya dulu bekerja keras agar saya bisa bersekolah tinggi. Sekolah, dalam narasi besar yang diwariskan dari generasi ke generasi, adalah pintu emas menuju kemerdekaan ekonomi dan sosial.

Sekolah kita masih terlalu sibuk mengejar angka. Ujian demi ujian, peringkat demi peringkat, seakan menjadi tolok ukur keberhasilan hidup. Anak-anak dididik untuk menjawab soal, bukan untuk mempertanyakan kenyataan. Kita lebih sibuk mencetak penghafal dibanding pembelajar. Kurikulum kerap berubah tanpa arah yang konsisten, seperti kapal yang berganti nakhoda sebelum menemukan pelabuhan.

Saya menyaksikan sendiri betapa sempitnya ruang bagi kreativitas. Diruang kelas, pertanyaan kritis sering dianggap membangkang. Guru menjadi pusat kebenaran, dan murid dituntut patuh. Padahal, dunia luar jauh lebih cair dan kompleks. Dalam dunia kerja, yang dibutuhkan bukan sekadar ijazah, tapi kemampuan berpikir, bekerja sama, dan menyelesaikan masalah. Sayangnya, sistem pendidikan kita belum menjawab kebutuhan itu secara menyeluruh.

Pendidikan kita juga masih belum adil. Dikota besar, anak-anak belajar dengan bantuan gawai canggih, guru berpendidikan tinggi, dan akses internet cepat. Didaerah pelosok, anak-anak harus menyeberangi sungai demi bertemu guru honorer yang mengajar empat mata pelajaran sekaligus. Pendidikan berkualitas belum menjadi hak semua orang, masih menjadi privilese.

Pendidikan masa depan harus diarahkan pada pembentukan warga negara yang tangguh, berpikir kritis, dan memiliki empati. Ia tidak cukup hanya menghasilkan tenaga kerja, tapi juga manusia yang sadar akan tanggung jawab sosialnya.

Arah pendidikan kita memang belum sampai tujuan. Tapi bukan berarti ia tak bisa diarahkan ulang. Dibutuhkan kemauan politik, keberanian untuk berinovasi, dan partisipasi publik. Kita semua punya andil. Karena pada akhirnya, pendidikan adalah cermin dari masyarakat yang kita bayangkan.(**)

……

DPRD Kota Makassar.

355 SulSel

Infografis PilGub Sulbar

debat publik pilgub 2024

Ucapan selamat Walikota makassar

Pengumuman pendaftaran pilgub sulsel

Pilgub Sulsel 2024

https://dprd.makassar.go.id/
https://dprd.makassar.go.id/