Jakarta, daulatrakyat.id — CIFOR-ICRAF Indonesia telah meluncurkan inisiatif kolaboratif untuk meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan tentang pentingnya memperkuat kapasitas petani kakao melalui agroforestri demi keberlanjutan kakao di Indonesia.
Program riset-aksi pertanian berkelanjutan ini dilakukan di Bentang Lahan Tropis Asia atau Sustainable Farming in Tropical Asian Landscapes (SFITAL). Kegiatannya dilakukan di daerah sentra produksi kakao di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Berdasarkan perkiraan Kementerian Pertanian, produksi kakao di Indonesia diprediksi akan mengalami penurunan rerata sebesar -0,16% per tahun sepanjang 2022 – 2026. Penurunan ini terutama disebabkan oleh faktor usia pohon kakao yang makin tua, pengelolaan kebun yang belum maksimal, dan ancaman serangan hama, serta kondisi cuaca ekstrem yang makin sering terjadi akibat perubahan iklim.
Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/BAPPENAS, Dr. Jarot Indarto, dalam sambutan pembukanya yang diwakili oleh Dr. Puspita Sulistyaningtyas mengatakan bahwa kegiatan strategis kolaborasi multipihak ini dilakukan guna mendukung tujuan nasional dalam mengembangkan pembangunan komoditas berkelanjutan berbasis yurisdiksi.
Jarot mengatakan, upaya peningkatan kapasitas petani kakao ini mendukung kepastian rantai pasok serta pengelolaan bentang lahan dan ekosistem yang berkelanjutan.
“Dengan dukungan yang berdampak secara menyeluruh ini, petani akan mampu mengelola kebunnya dengan baik, sehingga memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan dan kesejahteraan mereka,” jelas Jarot.
Sementara itu, perwakilan IFAD Indonesia Country Director, Yumi Sakata, menyebutkan bahwa IFAD telah berinvestasi dan mendukung masyarakat perdesaan di bidang pertanian dan perikanan, khususnya yang bekerja sama dengan petani kakao, bersama ICRAF melalui pendekatan ilmiah selama satu dekade terakhir
Yumi mengatakan bahwa pihaknya telah melihat kisah sukses SFITAL, seperti tercapainya peningkatan kemampuan 2.148 lebih petani kakao, termasuk inisiatif READSI dengan Cocoa Doctor bersama MARS, yang telah melatih 160 petani, sehingga sudah saatnya IFAD Indonesia bisa menyebarkan pembelajaran yang telah diperoleh selama ini.
“Proyek SFITAL bukan hanya menyasar petani kakao, tetapi juga petani kelapa sawit di Labura, Sumatera Utara. Ini merupakan satu-satunya kegiatan kami terkait dengan kelapa sawit yang membuat kami bangga. Ini merupakan bukti komitmen berkelanjutan kami terhadap pembangunan perdesaan,” imbuhnya.
Pada Seminar Nasional “Inisiatif Kolaboratif Peningkatan Kapasitas Petani Kakao Melalui Agroforestri”, yang diadakan di Jakarta pada tanggal 21 Agustus 2024 kali ini juga diluncurkan “Kurikulum Agroforestri Kakao” bagi petani dan penyuluh, dengan struktur pelatihan yang disusun secara sistematis memberikan kesempatan untuk berbagi ilmu, belajar dan berinovasi bersama tentang agroforestri kakao.
Kurikulum agroforestri kakao masih memerlukan perbaikan dan inovasi untuk memaksimalkan manfaatnya bagi lingkungan, petani, para penyuluh dan pembangunan pertanian secara umum. Penguatan kapasitas petani menjadi kunci dalam mengelola kebun kakao yang produktif dan ramah lingkungan.
Direktur Asia, CIFOR-ICRAF, Dr. Sonya Dewi, menambahkan bahwa keberlanjutan praktik baik ini sangat penting guna mengatasi permasalahan di tingkat global, seperti rantai pasok dan rantai nilai komoditas yang tidak berkelanjutan serta kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Agroforestri kakao, kata dia, mendorong solusi untuk meningkatkan ketahanan kebun kakao dan penghidupan petaninya. Dengan mengintegrasikan kakao dengan pohon naungan, sistem agroforestri kakao ini tak hanya memperbaiki lingkungan, tetapi juga mendukung ketahanan ekonomi petani, terutama di tengah perubahan iklim.
Sementara itu, Direktur Pelatihan Pertanian BPPSDMP Kementerian Pertanian (Kementan), Dr. Muhammad Amin, mengatakan bahwa kakao memiliki peran yang sangat penting dalam kebijakan penyuluhan pertanian di Indonesia. “Meskipun demikian, fokus utama masih ada pada tanaman pangan,” kata dia.
Dikatakannya, inovasi penyuluhan kolaboratif yang digagas oleh SFITAL dan lembaga non-pemerintah kini dipandang sebagai model potensial untuk diintegrasikan ke dalam program penyuluhan nasional, guna memperluas layanan, meningkatkan kapasitas petani, serta mengoptimalkan kebun kakao di tingkat kabupaten.
Dalam talkshow bertema “Penyuluhan Agroforestri untuk Kakao Berkelanjutan: Tanggung Jawab Siapa?”, sejumlah pertanyaan kunci dibahas, meliputi peran dan dukungan akademisi dalam penyuluhan dan pengembangan agroforestri kakao, kontribusi sektor swasta dan mitra pembangunan dalam mendukung pengembangan agroforestri kakao di tingkat petani, serta kebijakan pemerintah yang ada untuk meningkatkan praktik tersebut.
Selain itu, diskusi juga menyoroti bagaimana penyuluhan agroforestri kakao dapat diterapkan secara efektif agar mudah diterima dan diadopsi oleh para petani.
Pada kesempatan itu pula, Kepala Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Batangkaluku, Provinsi Sulawesi Selatan, Jamaluddin Al Afgani, S.Pd., M.P., mengatakan bahwa Pemerintah, melalui Kementan, aktif mendorong agroforestri kakao dengan menyediakan pelatihan, penyuluhan, dan bantuan teknis bagi petani.
“Kebijakan ini juga membuka akses yang lebih luas bagi petani terhadap bibit unggul, teknologi ramah lingkungan, dan pasar yang lebih kompetitif, guna meningkatkan produktivitas kakao secara berkelanjutan sambil menjaga kelestarian lingkungan,” kata Jamaluddin.
Jamaluddin juga menyoroti pentingnya membangun kolaborasi dalam meningkatkan kapasitas petani, termasuk melalui program pelatihan bagi para penyuluh agar mereka dapat mengaplikasikan kembali ilmu yang telah diperoleh.
“Kami berharap dapat terus memperkuat kolaborasi dengan ICRAF, Rainforest Alliance, Mars, dan mitra lainnya untuk mendorong keberlanjutan melalui inovasi, pembelajaran, dan pembinaan yang berkesinambungan,” harap dia.
Program riset-aksi Pertanian Berkelanjutan di Bentang Lahan Tropis Asia (SFITAL) ini dimulai pada 2020, dan berlangsung selama lima tahun. Program ini didanai oleh International Fund for Agriculture and Development (IFAD) dan dipimpin oleh World Agroforestry (ICRAF) dengan MARS, Incorporated, dan Rainforest Alliance-UTZ sebagai mitra kunci, yang didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara dalam pelaksanaan di tingkat tapak.
Diketahui, SFITAL bertujuan menghubungkan produsen skala kecil dengan rantai suplai global melalui prinsip keberlanjutan lingkungan, kelayakan ekonomi, dan tanggung jawab sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, SFITAL mengolaborasikan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah, industri, organisasi non-pemerintah, dan pihak lainnya. (lhr/jal/dr)