Jakarta.daulatrakyat.id- Institut KAPAL Perempuan dengan Jaringan Equal Measure (EM2030) bekerja sama dalam membangun Gerakan Advokasi Berbasis Data untuk Pencapaian SDGs, khususnya SDGs Goal 5 terutama penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan perkawinan anak.
Kegiatan Media Gathering ini akan membincang tentang kekuatan “Data Mendorong Perubahan Kekuatan dan Tantangan dalam Pencapaian SDGs Goal 5 di Masa Pandemi COVID-19”, diadakan secara virtual pada 16 Agustus 2021.
Institut KAPAL Perempuan bersama Equal Measures 2030 telah bekerjasama selama 5 tahun dalam program membangun Gerakan Advokasi Berbasis Data untuk Pencapaian SDGs Tujuan 5 terutama penghapusan perkawinan anak, dan kekerasan terhadap perempuan.
Ditingkat lokal bekerjasama dengan LPSDM – NTB, KPS2K – Jawa Timur, Kartini Manakarra – Sulawesi Barat, YKPM – Sulawesi Selatan. Berbagai capaian dan inisiatif berhasil dikembangkan dalam upaya mencegah kekerasan berbasis gender terutama perkawinan anak di masa pandemi ini.
Menyambut peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76, Institut KAPAL Perempuan dan Equal Measures 2030 menyelenggarakan kegiatan khusus untuk mempertemukan para jurnalis dan pelaku gerakan advokasi berbasis data yang dilakukan oleh multipihak.
Hari kemerdekaan Indonesia diharapkan dapat memerdekakan perempuan dan anak untuk bebas dari kekerasan dan perkawinan anak. Media Gathering ini akan diadakan pada 16 Agustus 2021. Tujuan acara ini adalah mensosialisasikan SDGs Gender Indeks EM2030 dan data penelitian Institut KAPAL Perempuan yang digunakan mendorong perubahan untuk mempengaruhi kebijakan dan implementasinya ditingkat lokal dan nasional.
Kegiatan ini disampaikan melalui Talk Show yang akan membahas tentang kekuatan data dan perkembangan terbaru tentang penghapusan perkawinan anak di masa pandemi. Narasumber yang akan hadir adalah Kedeputian Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Sekda Kabupaten Lombok Timur, NTB, Institut KAPAL Perempuan, dan Equal Measures 2030 (EM2030).
Talk Show ini dimoderatori oleh Sonya Helen, Jurnalis Harian Kompas. Disamping itu hadir 5 perempuan pemimpin akar rumput memberikan kesaksian tentang perjuangan menghapus perkawinan anak dan kekerasan berbasis gender, dipandu oleh Budhis Utami.
Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya untuk mendorong semua pihak mengingat urgensi kesetaraan gender di Indonesia. Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, namun kesetaraan gender masih stagnan di Indonesia, sebagaimana SDGs tahun 2019 dimana pencegahan perkawinan anak belum mencapai target Roadmap SDGs 2019 sebesar 10,59 persen. Data UN Women tahun 2020 “Menilai Dampak COVID-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” masih rendah pencapaian terkait kesetaraan gender. Laporan EM2030 tahun 2019 dalam SDGs Gender Indeks dan Indonesia berada di peringkat 69 dari 129 negara dan ditingkat 11 dari 23 negara ditingkat regional Asia Pasifik. Secara global, menurut SDGs Gender indeks, tidak ada satupun negara yang kesetaraan gendernya dalam posisi aman.
Diantara faktor yang menyebabkannya adalah belum memadainya implementasi UU Perkawinan No 16 Tahun 2019 dan lambannya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, intervensi program, anggaran, dan kesadaran publik. Pandemi COVID-19 memperparahnya. Laporan UNFPA (United Nations Population Fund) mempredikasi di tahun ke depan terjadi peningkatan 13 juta anak dan lonjakan besar di negara-negara yang tingkat perkawinan anaknya tinggi termasuk Indonesia.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) mengungkapkan catatan kenaikan kasus di Pengadilan Agama tahun 2017 berjumlah 13.095 perkara, dan 13.815 perkara tahun 2018, serta 24.864 perkara tahun 2019, dan 33.664 kasus hanya dari Januari – Juni 2020.
Kondisi ini menujukan peringatan keras bahwa deretan angka tersebut menyangkut ancaman masa depan dari resiko Lost Generation, memburuknya kesehatan perempuan, pendidikan anak perempuan, feminisasi kemiskinan dan merosotnya kualitas hidup perempuan. Meski begitu, muncul inisiatif-inisiatif organisasi perempuan dan perempuan dari kalangan akar rumput untuk menangani dampak pandemi yang kurang mendapatkan perhatian semua pihak. Diantaranya masalah perkawinan anak, kekerasan seksual dan KDRT yang meningkat dan semakin berlipat kerentanannya.
Ibu Saraiyah, anggota sekolah perempuan desa Sukadana, kab. Lombok Utara, anggota Majelis Keramah Adat Desa (MKAD) bercerita, “Saat saya sedang menuju desa Mumbul Sari, Lombok Timur, terjadi pelecehan seksual terhadap anak yatim berumur 7 tahun. Saya minta tolong bantuannya ya… Lagi mencari pelaku dan anaknya kini saya bawa. Kasusnya menyedihkan sekali. Eh baru sampai rumah, anaknya sakit lagi. Selama ini, Bapaknya sering marah dan pernah memukul dan mencaci maki. Kondisi anak merasakan ketakutan saat bapaknya marah dan pulang. Tapi saya tetap semangat, bekerja membantu masyarakat. Meskipun awalnya sejumlah kalangan mencibir yang saya lakukan,,,”
Sementara itu, Justin Anthonie, Koordinator Advokasi dan SDGs, Institut KAPAL Perempuan, menyatakan dalam “Penelitian Perkawinan Anak di kab. Bogor”, oleh Institut KAPAL Perempuan dan KPPPA, 2019, strategi advokasi berbasis data yang teritegrasi dengan pemberdayaan perempuan dapat menjadi pendorong kebijakan dan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan perkawinan anak. Hal ini penting karena masih kuatnya budaya yang menganggap perempuan “terlambat” menikah adalah aib. Bahkan saat ini di Indnesia berkembang kelompok yang mengkampanyekan untuk mempercepat perkawinan di usia muda. Penyadaran masyarakat ini juga dilengkapi dengan penguatan kapasitas untuk menangani kasus-kasus perkawinan anak melalui “Pendidikan Kesadaran Hukum untuk Komunitas Dalam Penanganan Kasus Perkawinan Anak”, bekerjasama dengan KPPPA pada 25 – 26 Agustus 2020 dan 1-2 September 2020.
Di tingkat global, Aarushi Khanna, Monitoring and Evidence Generation for Change Regional Coordinator, EM2030, menambahkan bahwa Jaringan EM2030 telah merangkum 51 indikator peka gender untuk 14 dari 17 tujuan berkolaborasi dengan 10 organisasi mitra, di 129 negara salah satunya Institut KAPAL Perempuan. Secara umum, skor indeks rata-rata 129 negara mewakili 95% dari perempuan dan anak perempuan dunia berada 65,7 dari skor 100. Dari sini, kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak masih menjadi masalah global serius.(ril/dr)