Oleh : Muslimin.M
Setelah bangsa ini merdeka pada tahun 1945 dan memasuki orde lama, lalu memasuki orde baru selama 32 tahun, rasa-rasanya negeri ini dikenal cukup damai dan aman, negara merawat konstitusi dan sadar bahwa ia sebagai tiang penyangga bagi semua hukum dan peraturan. Konstitusi disusun dengan penuh kehati-hatian oleh para pendiri bangsa, dirancang untuk melindungi hak-hak setiap warganya, serta menjaga keseimbangan kekuasaan agar tidak ada satu pun pihak yang bisa menguasai negara dengan sewenang-wenang.
Namun, sering berjalannya waktu, ketika kita memasuki era reformasi tahun 1998 hingga kini, kedamaian itu mulai sedikit demi sedikit retak, secara perlahan semakin retak dan rakyat mulai merasakan dampaknya dari keretakan itu. Negara yang dulu dikenal dengan demokrasi yang cukup baik, kini seperti berada dalam bayang-bayang demokrasi semu yang mengerikan.
Ditengah kondisi yang kurang bersahabat itu, ternyata masih ada sekelompok orang yang mulai melakukan perlawanan dan tidak tunduk. Mereka adalah para intelektual, aktivis, jurnalis, dan warga biasa yang masih percaya pada nilai-nilai asli konstitusi. Dalam bayang-bayang pengawasan yang ketat, mereka mulai mengorganisir perlawanan.
Kita tentu menyadari bahwa para pendiri bangsa ini telah mengajarkan kepada kita bahwa konstitusi bukanlah sekadar teks di atas kertas, tetapi merupakan jiwa dari sebuah bangsa yang harus dijaga dan diperjuangkan agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Bangsa ini harus berdiri kokoh diatas konstitusi sebagai pondasi dalam mengelola negara ini agar tetap pada relnya.
Dalam konteks itu, putusan MK No.60 dan 70 tentang ambang batas calon kepala daerah dan ambang batas umur calon kepala daerah yang baru saja diputuskan menjadi penyelamatan demokrasi, meskipun demikian tetap saja ada yang mencoba melakukan upaya pertentangan atau penolakan dari gedung DPR, tetapi rakyat dan mahasiswa tidak tinggal diam, mereka melakukan pengawalan dan perlawanan atas upaya yang ingin menolak putusan MK itu.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60 dan 70 yang menetapkan ambang batas partai politik dan atau gabungan partai politik yang memperoleh minimal 6,5 % suara sah di pemilu terakhir bisa mengajukan pasangan calon sendiri dalam Pilkada, meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Hal ini memberi kesempatan kepada partai-partai politik dengan dukungan yang cukup untuk berkompetisi secara mandiri, tanpa harus bergabung dengan koalisi yang lebih besar.
Putusan ini dapat dilihat sebagai upaya memperkuat mekanisme demokratis di mana partai politik diberi ruang lebih besar untuk menentukan calon pemimpin yang mereka dukung, dengan syarat yang lebih realistis dan proporsional. Namun, di sisi lain ada juga kekhawatiran bahwa putusan MK yang memberikan keleluasaan lebih kepada partai politik bisa memperkuat dominasi partai tertentu dan mengeliminasi calon perseorangan atau independen dan mengurangi kompetisi sehat di level lokal.
Oleh karena itu, argumentasi mengenai bagaimana putusan-putusan tersebut mempengaruhi demokrasi selalu menarik perhatian, terutama dalam konteks pluralitas dan keterwakilan politik di Indonesia. Secara keseluruhan, peran MK dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi melalui putusannya tetap krusial, meskipun selalu ada debat mengenai dampak jangka panjang dari keputusan-keputusan tersebut terhadap kualitas demokrasi di Indonesia.
“Kembalinya” Demokrasi
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi ini dipastikan tidak dihalangi DPR, dan KPU meresponnya dengan mengeluarkan PKPU pencalonan kepala daerah, maka ini bisa kita maknai bahwa demokrasi terselamatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kita sering memahami bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat. Itu berarti bahwa keputusan penting yang memengaruhi masyarakat dibuat berdasarkan partisipasi rakyat, baik langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih. Prinsip-prinsip demokrasi itu meliputi kebebasan berpendapat, persamaan hak di depan hukum, pemilihan umum yang bebas dan adil, serta perlindungan terhadap hak-hak minoritas.
Kemudian, kita juga memahami bahwa di dalam demokrasi ada konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi yang mengatur tata kelola sebuah negara. Hal ini mencakup aturan dan prinsip yang menentukan struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan, hak-hak dan kewajiban warga negara, serta mekanisme untuk mengubah hukum. Konstitusi berfungsi sebagai panduan yang memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan hak-hak rakyat terlindungi. Konstitusi juga dapat mengatur bagaimana proses demokrasi dijalankan, termasuk mekanisme pemilihan, pembentukan undang-undang, dan hubungan antar cabang pemerintahan.
Konsep diatas, memberi pemahaman kepada kita bahwa keterkaitan antara konstitusi dan demokrasi begitu penting karena demokrasi memerlukan kerangka hukum yang ditetapkan oleh konstitusi, sementara konstitusi sering kali mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Di negara demokratis, konstitusi biasanya dibuat dan diubah melalui proses yang melibatkan partisipasi rakyat, memastikan bahwa aturan dasar negara mencerminkan kehendak rakyat.
Putusan Mahkamah Konstitusi berperan penting dalam menyelamatkan dan memperkuat demokrasi. MK berfungsi untuk memastikan bahwa semua undang-undang dan kebijakan yang diterapkan sesuai dengan konstitusi. Dengan menegakkan prinsip-prinsip konstitusi, MK membantu menjaga agar sistem hukum dan pemerintahan tetap sesuai dengan norma-norma demokrasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi perlindungan hak-hak dasar warga negara. Dengan mengatasi pelanggaran hak asasi manusia dan menjamin hak-hak fundamental, MK memperkuat demokrasi dengan memastikan bahwa hak-hak individu dihormati.
MK berperan dalam menjaga keseimbangan antara cabang-cabang pemerintahan, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan mengatasi sengketa kekuasaan atau mencegah penyalahgunaan kekuasaan, MK membantu menjaga sistem pemerintahan demokratis.
Mahkamah Konstitusi juga terlibat dalam penyelesaian sengketa pemilu, termasuk pilkada dan keputusan mengenai keabsahan hasil pemilihan. Hal ini penting untuk memastikan pemilihan yang adil dan transparan, serta menjaga integritas proses demokrasi. Dengan menegakkan prinsip-prinsip hukum yang adil, MK membantu memastikan bahwa semua pihak mendapatkan perlakuan yang setara di hadapan hukum, termasuk mengoreksi undang-undang atau kebijakan yang dianggap tidak adil atau diskriminatif.
Dengan cara-cara tersebut, putusan MK dapat memperkuat dan melindungi demokrasi, memastikan bahwa pemerintahan berfungsi secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi. Dalam konteks itu, “demokrasi terselamatkan” bisa kita maknai bahwa putusan MK ini telah mengatasi ancaman terhadap integritas demokrasi, seperti penyimpangan dalam pemilihan umum, pilkada, pelanggaran hak konstitusi, atau ketidakpastian hukum.
Akhirnya kita menyadari bahwa putusan MK yang adil dan tepat waktu dapat mencegah krisis konstitusi dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi, sehingga memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi tetap tegak dan berfungsi dengan baik. Dengan demikian negara ini akan terselamatkan dari Krisis demokrasi dan krisis kepercayaan rakyat yang dampaknya sungguh mengerikan bagi eksistensi bangsa ini.(**)