Oleh : Muslimin.M
Data dari BPS memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan mayoritas penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas baru mencapai wajib belajar 9 tahun atau setara dengan tamat SMP. Meski begitu, masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam hal pendidikan lanjutan.
Menurut data BPS dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2023, lulusan pendidikan terbanyak di Indonesia adalah lulusan SMA/sederajat dengan persentase 30,22%. Diikuti oleh lulusan SD/sederajat sebesar 24,62%, dan lulusan SMP/sederajat sebanyak 22,74%.
Lebih mengkhawatirkan lagi, proporsi penduduk yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya mencapai 10,15% pada Maret 2023. Angka ini menunjukkan bahwa akses ke pendidikan tinggi masih sangat terbatas.
Selain itu, persentase penduduk yang tidak tamat SD dan yang belum pernah sekolah masih cukup tinggi, masing-masing sebesar 9,01% dan 3,25%. Angka ini mencerminkan bahwa masih ada tantangan besar dalam pemerataan pendidikan di Indonesia(dikutip dari beritasatu.com,13/5/25)
Data diatas memberi penegasan kepada kita bahwa permasalahan pendidikan di tanah air begitu kompleks dan rumit, permasalahan ini mulai di hulu hingga di hilirnya, dan intervensi yang dilakukan juga belum begitu menyentuh akar masalah nya.
Apa sebetulnya yang salah ?
Suatu waktu saya pernah ditanya mahasiswa, mengapa pendidikan kita tidak semaju negara China atau jepang ?, padahal mereka memulai membangun pendidikannya hampir bersamaan dengan negara kita ?,pertanyaan mahasiswa ini menggelitik saya dan jujur saja bahwa realitas nya memang begitu, bahkan dilevel Asia tenggara saja nyaris kita terseok-seok.
Coba kita lihat, bagaimana pemerintah setiap tahun menggelontorkan anggaran triliunan rupiah untuk sektor pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 pun dengan tegas mengamanatkan bahwa 20 persen dari APBN harus dialokasikan untuk pendidikan. Tapi, mengapa kualitas pendidikan kita masih tertinggal jauh ?, pertanyaan publik ini persis sama dengan pertanyaan mahasiswa diatas.
Satu hal yang mesti kita renungi bahwa permasalahan utama pendidikan kita saat ini ada pada ketimpangan akses. Ketimpangan akses ini menjadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas. Anak-anak diperkotaan dapat dengan mudah mengakses sekolah berfasilitas lengkap, guru bersertifikasi, bahkan pembelajaran tambahan lewat daring. Sementara
di pelosok negeri, tak sedikit siswa harus berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai sekolah dengan bangunan seadanya. Ketimpangan ini tidak hanya mencerminkan persoalan geografis, tetapi juga ketidakadilan struktural yang berlangsung lama.
Kualitas pengajaran pun masih jauh dari ideal. Banyak guru mengajar belum begitu siap dengan kemampuan kompetensi nyata, pelatihan yang belum cukup, beban administratif yang menumpuk membuat para guru lebih sibuk mengisi laporan daripada mendampingi murid belajar. Belum lagi soal distribusi guru yang tidak merata, dibeberapa daerah, satu guru harus mengampu beberapa mata pelajaran sekaligus.
Masalah kurikulum yang terus berubah, pun menambah kebingungan. Tanpa arah yang jelas, peserta didik dipaksa menyesuaikan diri dengan sistem yang tak stabil. Pendidikan menjadi ajang uji hafalan, bukan pengembangan logika dan empati, berorentasi mencetak generasi pembelajar, malah kita justru menumbuhkan generasi penghafal.
Meskipun begitu, kita tetap mengakui bahwa pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program, dari Indonesia Pintar hingga digitalisasi sekolah. Tapi implementasi dilapangan kadang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Anggaran yang besar tidak selalu menjamin hasil yang setara. Jika tak ada pengawasan dan evaluasi ketat, kebijakan hanya menjadi jargon di atas kertas.
Idealnya bagaimana
Reformasi pendidikan harus dimulai dari keberpihakan, bukan pada statistik, tetapi pada manusia. Pendidikan bukan semata-mata soal angka kelulusan atau indeks prestasi, melainkan tentang membentuk warga negara yang berpikir kritis, beretika, dan mampu hidup berdampingan di tengah keberagaman.
Idealnya memang pendidikan adalah urusan jangka panjang. Ia tak bisa ditangani lewat proyek instan dan kebijakan populis semata. Diperlukan konsistensi, keberanian dan kejujuran dalam melihat masalah dari akarnya dan kita tidak ingin menunda perbaikan sistem sebab sama halnya kira menunda masa depan bangsa sendiri.
Saya kadang berpikir lebih jauh bahwa pendidikan bukan sekadar proses belajar, membaca dan menulis, tapi ia adalah kunci utama untuk membuka peluang hidup yang lebih baik, meskipun sudah banyak kemajuan, tapi sejumlah masalah klasik tetap menghantui, ketimpangan akses, kualitas pengajaran yang rendah, dan kurikulum yang kurang relevan.
Dan saya ingin katakan bahwa salah satu masalah krusial saat ini adalah kualitas pengajaran. Banyak guru yang sebenarnya belum begitu siap mengajar karena faktor adaptasi teknologi dan kurangnya pelatihan. Bahkan saya pernah mendengar cerita dari kawan-kawan guru yang mengajar di desa, bahwa ia harus mengajarkan materi yang bahkan belum sepenuhnya ia kuasai. Dan tentu ini bukan sepenuhnya kesalahan guru, melainkan cerminan dari sistem yang belum mendukung pengembangan profesional secara berkelanjutan.
Saya pun meyakini bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam. Program Indonesia Pintar, bantuan BOS, hingga digitalisasi sekolah adalah langkah yang patut diapresiasi, meskipun Tapi kebijakan itu kadang tidak menyentuh akar masalah, seperti tidak semua bantuan sampai ke tangan yang tepat, dan banyak kebijakan yang bagus di atas kertas, tapi lemah dalam implementasi.
Dari konteks diatas, saya memahami dan memberi penilaian bahwa bukan hanya soal anggaran besar, tapi soal keberpihakan dan konsistensi. Pendidikan harus menjadi prioritas jangka panjang, bukan sekadar proyek lima tahunan. Pemerintah harus serius mendengar suara guru, siswa, dan orang tua. Pun masyarakat juga harus terlibat karena pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Saya bermimpi suatu hari nanti anak-anak didesa dan kota sama-sama punya kesempatan yang adil. Dimana pun mereka tinggal, bisa bermimpi besar, dan memiliki sistem pendidikan yang mendukung mewujudkannya. Pendidikan seharusnya bukan menjadi beban, tapi menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih baik.
Saya percaya bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tumbuh, bukan yang selalu dibongkar. Kita butuh arah yang jelas, bukan terus-menerus diubah tanpa kepastian. Jika sistemnya stabil dan mendukung, siswa akan belajar dengan lebih tenang, guru bisa mengajar dengan lebih fokus, dan masa depan pendidikan Indonesia akan jauh lebih cerah.
Dan tentu saja mimpi kita dan keinginan kita bahwa pendidikan di tanah air harus bisa lebih maju dan berkualitas, paling tidak mendekati dengan pendidikan Singapura atau setara dengan pendidikan di China atau jepang, meskipun itu belum bisa melampauinya.,(**)