Oleh : Muslimin.M
Sekitar lima bulan ke depan tepatnya tanggal 27 November 2024 kita akan melakukan pemilihan kepala daerah secara serentak di daerah masing-masing, suasana dan hingar-bingar politiknya sudah begitu menggema saat ini, hiruk-pikuk para tim sukses, para bakal calon sudah begitu ramai dalam melakukan kegiatan politiknya baik melalui media sosial, pemasangan baliho bahkan tidak sedikit yang turun langsung ke masyarakat untuk menawarkan visi dan programnya, semua itu mereka lakukan sebagai bagian penting dari pilkada langsung yang membutuhkan elektabilitas dan pengenalan diri kepada masyarakat. Dalam tulisan kali ini tentu saya tidak membahas aktivitas bakal calon kepala daerah, tetapi saya hanya akan mencoba menelaah lebih dalam tentang politik identitas yang sering muncul dalam setiap momen pilkada.
Kita mungkin tidak perlu heran, jika kemudian politik identitas akan menjadi keniscayaan, sebab secara pragmatis hal ini sebagai suatu upaya yang paling konkrit untuk tetap mempertahankan basis konstituen. Tetapi dalam waktu yang panjang, penggunaan politik identitas akan berdampak kronis terhadap demokrasi politik tanah air. Penjualan atribut keagamaan, atribut kesukuan, slogan-slogan keturunan dan iklan-iklan berbasis identitas primordialis akan selalu marak dan menghiasi jagat politik identitas, dan ini bisa saja memantik gesekan di akar rumput.
Isu politik identitas pun kerap digunakan sebagai ajang legitimasi konstituen bagi tim pasangan calon dan partai politik atau sengaja dimanfaatkan untuk meraup segmentasi pemilih. Penggunaan politik identitas ini memang tidak akan pernah mati di Indonesia, seolah menjadi senjata pamungkas bagi kandidat dalam meraup simpati dan dukungan suara. Beberapa fenomena politik disebut-sebut dapat memantik kembali sulut api pertentangan antara negara dengan agama, isu keagamaan dan isu primordialis pun kerap dimainkan sebagai komoditas politik yang berimplikasi logis pada terpolarisasi nya masyarakat.
Pragmatisme identitas
Jika kita telisik lebih mendalam, penggunaan politik identitas bisa jadi sebagai sebab dari diterapkannya sistem multipartai dan sistem proporsional terbuka. Dengan adanya sistem multipartai, maka gerakan keagamaan atau apapun namanya menjelma menjadi satu kekuatan entitas politik baku sebagai suatu upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai kepercayaannya pada sistem politik yang ada. Selain itu, gerakan keagamaan yang bertransformasi dalam sistem multi kepartaian ini menjadi katalisator perkawinan antara agama dan politik yang mempromosikan nilai-nilai keseimbangan (washatiyah) atau toleransi dalam kerukunan antar sesama warga negara.
Sistem multipartai juga berimplikasi pada banyaknya partai politik yang sebenarnya mempunyai akar ideologis yang sama, analoginya meskipun namanya berbeda-beda tetapi bahan utama masakannya sama.
Dampak sederhana dari fenomena ini adalah biasnya pandangan ideologi sebagai dasar pijak partai politik dalam usaha mentransformasikan nilai-nilainya di dalam segala bentuk kebijakan negara. Yang muncul, justru pragmatisme dan sentimen politik serta penonjolan politik identitas dalam segala bentuk perilakunya ditambah dengan gimmick-gimmick politik menggelitik.
Mungkin perna terlintas pertanyaan dipikiran kita apa sesungguhnya yang menyebabkan seseorang yang ‘menjual’ identitas primordial nya kadang peluang menangnya lebih besar di ajang pemilu atau pilkada ?. Apakah Politik identitas ini bisa menjadi salah satu faktor penting dalam pilkada ?, tidak sulit menemukan kongkritnya dari pertanyaan ini. Politik identitas yang dimaksud disini adalah politik yang mengacu pada terpengaruh nya penggunaan identitas seperti ras, agama, etnis, gender, orientasi seksual, dan sebagainnya dalam konteks politik. Politik identitas begitu memantik pro kontra saat ini, apalagi kita berada di momen tahun politik, tahun pilkada.
Berbagai pilihan dalam memilih pemimpin merupakan suatu hal yang paling penting dari demokrasi kita. Namun, di setiap momen pemilu termasuk pilkada masih diwarnai dengan pengaruh isu-isu seperti etnis, ras, agama, dan golongan yang dapat mencederai nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri.
Menurut Agnes Heller, tentang politik identitas merupakan gerakkan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan sebagai satu kategori politik utama. Dalam perbedaan tersebut mencangkup ras, agama, etnis, dan agama tentunya. Namun, politik identitas salah satu faktor yang menentukan kemenangan dalam konteks politik.
Strategi pemenangan
Penting untuk kita sadari bahwa politik identitas melibatkan sejumlah isu yang sensitif dan kompleks. Karenanya, menjadi lebih penting untuk berhati-hati dalam menjalankan strategi ini, menghormati perspektif dan pengalaman kelompok identitas yang berbeda dan bertujuan untuk membangun pemahaman dan kesepahaman yang lebih besar.
Terdapat beberapa kasus yang sering terjadi dimana saat calon atau kandidat berkampanye terkadang kita mendengarkan kalimat ajakan untuk memilih kandidat tersebut karena kandidat itu merupakan dari golongan yang sama, semisal kandidat A dari garis keturunan bangsawan dan memiliki jabatan tertentu, sedangkan kandidat B dari golongan masyarakat biasa di daerah itu dan tidak memiliki jabatan tertentu. Hal tersebut merupakan taktik kandidat A dalam memenangkan pertarungan dengan cara mempergunakan kekuasaan keluarganya dan identitas primordial keluarganya. Tak jarang juga orang-orang lebih memilih kepada sesama kelompok karena adanya hubungan emosional didalamnya, bisa karena kerabat atau keluarga dekatnya.
Faktor diatas menjadikan politik identitas sebagai alternatif dan memainkan peran penting untuk menarik empati pemilih kepada salah satu calon yang memiliki latar belakang serupa. Sebelum berlangsungnya pemilihan kandidat berusaha membangun hubungan untuk mendapatkan dukungan dengan menyuarakan isu-isu yang menurutnya penting untuk suatu kelompok tertentu. Keberhasilan ini menandakan bahwa politik identitas menentukan kemenangan pada kandidat tertentu
Politik identitas merupakan strategi yang mengutamakan identitas kelompok tertentu, seperti ras, etnis, agama, gender, orientasi seksual, atau kelompok sosial lainnya, untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-hak kelompok tersebut. Ini sering digunakan sebagai sarana untuk mengadvokasi keadilan sosial dan melawan diskriminasi atau ketidakadilan yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas atau terpinggirkan.
Politik identitas dapat memiliki dampak positif, seperti meningkatkan kesadaran akan isu-isu keadilan sosial dan memberdayakan kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak terdengar. Namun, kritik terhadap politik identitas juga muncul, di antaranya bahwa fokus yang terlalu kuat pada identitas kelompok dapat memecah belah masyarakat dan mengabaikan isu-isu yang lebih universal.
Dalam konteks pilkada, politik identitas sering muncul dalam bentuk mobilisasi etnis atau agama, terutama dalam pilkada atau saat ada isu-isu sosial yang sensitif. Fenomena ini bisa memperkuat solidaritas kelompok, namun juga berpotensi menimbulkan ketegangan antar kelompok yang berbeda.
Politik identitas dalam setiap momen pemilu atau pilkada sering kali digunakan sebagai strategi untuk memenangkan dukungan dari kelompok-kelompok tertentu berdasarkan identitas mereka, seperti agama, etnis, ras, atau kelompok sosial lainnya Beberapa cara politik identitas bisa muncul dalam konteks pemilu atau pilkada:
Pertama : Mobilisasi Kelompok Berdasarkan Identitas ; Kandidat atau partai politik menggalang dukungan dengan menekankan kesamaan identitas (agama, etnis, dll.) dengan pemilih tertentu. Kampanye yang menekankan narasi “kami versus mereka” untuk membangun solidaritas kelompok tertentu dan mengeliminasi yang lain.
Kedua : Retorika dan Simbolisme ; Penggunaan retorika yang mengedepankan identitas kelompok dalam pidato kampanye dan media sosial. Penggunaan simbol-simbol identitas, seperti pakaian tradisional atau simbol agama, untuk menarik perhatian pemilih.
Ketiga : Isu-isu Sensitif ; Meningkatkan isu-isu sensitif terkait identitas tertentu, seperti hak-hak minoritas, kebijakan imigrasi, atau isu-isu keagamaan. Menyebarkan informasi yang mungkin memicu ketegangan atau ketakutan di kalangan kelompok identitas tertentu.
Kita menyadari bahwa politik identitas yang sering muncul dalam setiap perhelatan pemilu termasuk pilkada, merupakan fenomena alamiah yang begitu berakar di banyak masyarakat kita, pro kontra tentang fenomena ini sulit dihindari sebab itulah fakta yang memang ada. Tetapi kita meyakini bahwa ini tidak akan membahayakan tatanan bermasyarakat, meskipun potensi benturan antara sesama kadang mengkhawatirkan karena ada perbedaan antara keduanya. Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana perbedaan dari segala aspek ini bisa dikelola dengan baik, adil bagi semuanya dan tidak ada yang merasa di tinggalkan.(**)