Mamuju daulatrakyat.id- Sosialisasi Indeks Gender SDGs memiliki urgensi dalam mendorong Implementasi UU TPKS dan Surat Edaran Gubernur Sulawesi Barat tentang Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak”.
Acara tersebut berlangsung di Hotel Meganita, Rabu, 21 Desember 2022.
Indeks Gender SDGs tahun 2019 dan tahun 2022, yang dikembangkan oleh EM2030 sebuah kemitraan jaringan global yang berpijak pada visi dunia untuk mencapai kesetaraan gender pada tahun 2030.
SDGs Gender Indeks merupakan alat untuk mengukur kemajuan menuju kesetaraan gender yang selaras dengan SDGs. Indeks ini mencakup 14 tujuan dan 56 indikator di SDGs sehingga dapat memberikan gambaran besar dan komprehensif untuk menunjukkan perkembangan kesetaraan gender yang lambat dan terancam tidak dapat tercapai pada tahun 2030.
Merespon hal tersebut, KAPAL Perempuan bersama Equal Measures 2030 (EM2030) bekerjasama dengan Kartini Manakarra dan YKPM melakukan advokasi berbasis data pencapaian SDGs tujuan 5 khususnya penghapusan perkawinan anak.
Di Sulawesi Barat dimulai sejak tahun 2016 dan pada tahun 2019 berhasil mendorong terbitnya Surat Edaran Gubernur pada tahun 2019.
“Kini saatnya kita mengawal implementasi Surat Edaran bersamaan juga dengan UU Perkawinan no.16 tahun serta UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),” demikian dalam rilis tertulis, Institut Kapal Perempuan.
Melalui Dialog Publik ini diharapkan Indeks Gender SDGs terutama hasil indeks Indonesia ini dimaksudkan sebagai peringatan keras dalam mewujudkan kesetaraan gender, melalui peningkatan Indeks Pembangunan Gender dan menurunkan kesenjangan gender.
Pemerintah Daerah Sulawesi Barat dan aparat penegak hukum mesti bekerja lebih keras dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hukum perlindungan perempuan sebagai salah satu upaya mempercepat pencapaian target dan indikator Tujuan 5 SDGs.
Masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, kelompok keagamaan, organisasi kepemudaan adalah elemen yang dibutuhkan partisipasi aktif dalam memantau dan mewujudkannya.
Semua narasumber maupun penanggap berkomitmen dalam memaknai gender indeks SDGs ini sebagai peringatan untuk mendorong perwujudan masyarakat yang terbebas dari kekerasan seksual dan segala bentuk kekerasan lainnya.
Dalam diskusi publik ini, sejumlah narsum yang memaparkan materi antara lain, Dr. Abdul Bahtiar, SH, MH, Jaksa Masya (IV/a) kepala seksi teknologi informasi dan produksi pada bidang Inteligen Kajati Sulbar, Makhmuddin Pattola, M.AP KABID PHP PKA Provinsi Sulbar, Lusia Palulungan, SH (Jaringan pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Advokat Bantuan Hukum Sulawesi Selatan) dan Justin Anthonie (Institut KAPAL Perempuan).
Sedangkan para penanggap yang menyampaikan komitmen yang sama adalah Kompol Asrina Basri.SE.,MM (Kasubdit IV Renakta Dit. Reskrimum Polda Sulbar, Dr. Sukmawati,S.H,.M.H (Asisten Ahli), Muliadi Prayitno (Direktur YKPM Sulsel), Dr. Furqon Mawardi (Wakil Rektor I Universitas Muhamadiyah Mamuju), Indo Uphe’ ( Kepala Desa Kalepu), Syafaruddin Syam (Ketua Gema Difabel Mamuju), Riadi Syam (Jurnalis Media Online) dan Hj. Halimah (Pengurus MUI Sulbar)
Diskusi publik tersebut, dalam rangka menurunkan kasus perkawinan anak, Sulawesi Barat yang ada pada peringkat 3 dari 20 provinsi tertinggi untuk kasus perkawinan anak.
Sementara Data Sistem Informasi On-Line Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPFONI PPPA), periode 1 Januari-19 Agustus 2021, telah terjadi 4.212 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dan 6.248 kasus kekerasan terhadap anak.
Sekitar 74,24 persen dari data kekerasan terhadap perempuan tersebut adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sementara 58,4 persen dari kasus kekerasan anak adalah kasus kekerasan seksual.
Sulawesi Barat diperparah dengan gempa dan COVID-19 yang berdampak pada perempuan dan anak.
Dalam rilis tertulisnya menegaskan, hari ini telah melanjutkan perjuangan perempuan pendahulu dengan membangun Dialog Publik Sosialisasi Indeks Gender SDGs untuk Mendukung Implementasi UU TPKS dan Surat Edaran Gubernur Sulawesi Barat tentang Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak.
Dimana, tanggal 21 Desember adalah satu hari menjelang Kongres Perempuan pertama di Hindia Belanda (sebelum ada Indonesia) pada 22 Desember tahun 1928.
Kongres perempuan pertama yang sudah berlangsung 94 tahun lalu. Pada saat itu sekitar 1.000 perempuan bermusyawarah dalam situasi penuh tekanan oleh penjajah.
Para perempuan dalam kongres pertama ini, Moeqaromah dari Putri Indonesia sudah mendesakkan penghapusan perkawinan anak dan saat ini kita masih menghadapinya.
Sementara undangan yang hadir dalam dialog public ini adalah organisasi perempuan, Bhayangkari, Persit, Dinas Pemberdayaan Perempuan, jurnalis, akademisi, alumni training kepemimpinan perempuan tahun 2020, PKK, perwakilan disabilitas dan organisasi kepemudaan.
Bahkan, para peserta dialog publik yang hadir mendukung dan mendorong percepatan capaian SDGs dan juga melakukan sosialisasi sampai tingkat tingkat desa, juga anak-anak sekolah dan berbagai elemen lainnya secara massif.(rils/dr)