Oleh : Muslimin.M
Tulisan ini saya awali dengan sebuah cerita tentang demokrasi semu pada sebuah negara, meskipun ini hanya cerita fiktif tetapi ada kemiripan gambaran kondisi yang terjadi saat ini, dan tentu, saya tidak dalam posisi menjustifikasi, tetapi hanya memberi referensi tambahan kepada kita bahwa betapa demokrasi semu itu merugikan masyarakat secara umum, dan justru hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.
Di sebuah negara bernama Republik Juragan, rakyatnya percaya bahwa mereka hidup dalam sistem demokrasi yang adil dan transparan. Setiap lima tahun sekali, pemilihan umum diadakan untuk memilih presiden dan anggota parlemen. Namun, di balik layar, kenyataan tidaklah seindah yang terlihat.
Presiden yang berkuasa, telah memimpin negara itu selama satu dekade. Setiap kali pemilihan umum berlangsung, dia selalu keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara yang mencengangkan. Banyak yang mulai meragukan keabsahan hasil pemilihan, tetapi suara-suara kritis itu selalu dibungkam dengan berbagai cara.
Di Republik juragan, media massa sangat dikendalikan oleh pemerintah. Saluran berita utama hanya menyiarkan informasi yang menguntungkan pemerintah dan tidak pernah mengkritik kebijakan atau tindakan presiden. Jurnalis yang mencoba mengungkap kebenaran seringkali berakhir di penjara dengan tuduhan mengancam keamanan nasional.
Kelompok oposisi, meskipun diizinkan untuk eksis, selalu menghadapi berbagai rintangan. Mereka sering kali dituduh melakukan kegiatan ilegal, dan banyak pemimpin oposisi yang dijebloskan ke penjara dengan tuduhan palsu. Pada hari pemilihan, banyak laporan tentang intimidasi terhadap pemilih yang mendukung oposisi dan manipulasi suara, tetapi semua keluhan itu diabaikan oleh komisi pemilihan yang jelas-jelas berada di bawah kendali penguasa.
Salah satu tokoh oposisi yang gigih adalah Sableng. Dia adalah seorang pengacara yang berani dan telah lama berjuang melawan ketidakadilan di negara juragan. Sableng sering berbicara di depan umum, mengungkap berbagai bukti penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa. Namun, suatu hari, Sableng ditangkap dengan tuduhan memiliki dokumen rahasia negara. Meskipun bukti-bukti yang diajukan sangat lemah, Sableng dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun.
Namun, semangat Sableng tidak pudar. Dari dalam penjara, dia terus menyuarakan perlawanan melalui surat-surat yang dikirimkan kepada pendukungnya. Gerakan pro-demokrasi semakin menguat, dan rakyat juragan mulai sadar bahwa mereka telah hidup dalam bayang-bayang demokrasi semu.
Akhirnya, tekanan internasional dan gerakan rakyat yang semakin besar memaksa sang penguasa diktator untuk mengadakan pemilihan umum yang benar-benar bebas dan adil. Setelah perjuangan panjang dan berat, rakyat Republik Juragan akhirnya berhasil merebut kembali demokrasi sejati mereka. Sableng dibebaskan, dan Republik Juragan memulai babak baru sebagai negara yang benar-benar demokratis.
Seorang seniman Serbia, Marina Abramovic menampilkan pertunjukan yang ia beri nama “Rhythm 0″(1974). Ia berdiri di tengah keramaian dan membiarkan orang melakukan apapun kepadanya. Banyak orang kemudian memberikannya bunga, memeluknya hangat, hingga melemparkan beberapa koin. Namun, selang beberapa jam, penonton yang tidak melihat perlawanan Marina mulai tak terkendali. Mereka mulai melecehkan Marina, melemparinya bahkan melukai dirinya. Melihat penonton yang semakin menggila, seorang ibu menyelamatkannya dari kerumunan. Dengan aksi kontroversial ini, Marina mengajak kita untuk menyadarinya bahwa kekuasaan yang besar membuat orang menjadi gila.
Melemahnya Demokrasi
Lemahnya demokrasi ? Adakah keterkaitan kisah diatas dengan demokrasi di negara kita saat ini ?, Perlu kita cermati bagaimana jalannya demokrasi di Indonesia saat ini lewat beberapa indikator. Misalnya, berdasarkan catatan World Justice Project (2021), pada 2014-2020, Indeks Negara Hukum yang dimiliki Indonesia, sebagai salah satu indikator demokrasi, stagnan diangka 0,52-0,53. Angka ini diakibatkan tingginya korupsi dan akses terhadap keadilan yang belum memadai.
Selain itu, menurut catatan Freedom House (2021), status kebebasan Indonesia adalah party free. Pada 2021 Indonesia mendapatkan skor 59/100, menurun dari skor sebelumnya yakni 61/100. Angka tersebut, disusun oleh dua komponen yakni hak politik dan kebebasan sipil. Skor hak politik cukup tinggi, yakni 30/40, sedangkan kebebasan sipil, skornya anjlok hingga 29/60. Memang, Indonesia sangat menjamin hak politik, terutama hak untuk memilih dan dipilih sehingga skor yang didapat di atas rata-rata. Tetapi, dalam hal kebebasan sipil, yang di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat, berkumpul, berserikat, dan lainnya, masih belum memuaskan jaminan secara serius oleh negara.
Menariknya, bila komponen skor dilihat lebih jauh, porsi kebebasan sipil lebih besar dibanding hak politik. Kebebasan sipil yang merepresentasikan demokrasi substantif, dipandang sebagai tujuan utama, setelah diupayakan melalui penjaminan hak politik seperti Pemilu, yang sifatnya prosedural. Lebih lanjut, dalam kategori kebebasan sipil, terdapat beberapa indikator seperti perlakuan yang setara, prinsip equality before the law, hingga kebebasan akademik dan imparsialitas peradilan, di mana Indonesia memiliki skor kecil. Hal ini menandakan kedaulatan rakyat hanya dijalankan secara prosedural, dan tidak menyentuh gagasan yang lebih substantif.
Dalam konteks demokrasi, pemilu tentu memainkan peran yang determinan. Pemilu memiliki beberapa fungsi dalam menjalankan kedaulatan rakyat seperti, sarana masyarakat membentuk pemerintahannya sendiri, sebagai sirkulasi elit, hingga mekanisme yang ampuh bagi masyarakat untuk menghukum para pejabat politik. Bila dilihat dari perspektif top-down, pemilu juga menjadi sarana penguasa untuk mencari legitimasi.
Namun, kita juga menyadari bahwa beberapa persoalan masih membaluti pemilu, termasuk pilkada kita saat ini sehingga kesulitan untuk menjamin keterwakilan masyarakat. Misalkan isu dana kampanye dan peredaran uang di tiap pemilu atau pilkada yang sangat besar, sehingga menyaring para kandidat hanya berdasarkan kemampuan finansial.
Belum lagi kurang variatifnya kandidat yang terkesan itu-itu saja, dan tertutupnya kesempatan bagi calon-calon yang kompeten dan layak turut mengeskalasi persoalan-persoalan yang ada. Artinya, hal ini bertalian dengan prinsip free and fair election. Keadilan pemilu atau pilkada perlu dilihat bukan hanya dalam konteks pertarungan pada saat menjadi kontestan, namun juga proses menjadi kontestan. Karenanya, isu-isu di atas perlu diselesaikan dengan visi yang matang.
Tentu, kita sepakat bahwa jika pilihan variatif dan keterwakilan yang beragam dapat terwujud, niscaya kedaulatan rakyat yang semu tak lagi menjadi soal.
Kita perlu memahami bahwa demokrasi semu merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik yang tampak seperti demokrasi di permukaan, tetapi sebenarnya tidak menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara sepenuhnya. Dalam demokrasi semu, elemen-elemen seperti pemilihan umum, kebebasan berbicara, dan kebebasan pers mungkin ada, tetapi seringkali dimanipulasi atau dikendalikan.
Demokrasi semu, atau pseudomonas, terjadi ketika sebuah negara atau pemerintahan tampak menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara formal, namun dalam praktiknya tidak memenuhi standar demokrasi yang sejati. Sehingga efeknya bisa sangat merugikan. Kebebasan berpendapat, pers, berkumpul, dan berorganisasi sering kali dibatasi atau dikendalikan oleh pemerintah, mengurangi ruang bagi partisipasi publik yang bebas dan terbuka.(**)