Oleh : Mursalim Majid (Wartawan / Wakil Ketua PWI Sulbar)
Ditengah kebebasannya Pers diperhadapkan pada tantangan zaman. Proses perubahan yang melejit bak anak panah semakin tak terbendung.
Tantangan yang makin kompleks itu tanpa kesiapan yang siap dalam menghadapi setiap perubahan. Pers dan insan pers itu sendiri seolah tak siap menapaki ruang kebebasan.
Menyalami ruang kebebasan yang makin jauh berjalan tanpa arah ditengah gelapnya rimba raya informasi. Gelap dan terang, siang dan malam silih berganti terus membelenggu. Meski sesungguhnya tak bisa disatukan.
Perjalanan pers pasca reformasi, mengakibatkan tumbuh suburnya media pers berikut munculnya para wartawan bak jamur dimusim hujan.
Sesungguhnya sudah ada pelita dalam menyusuri gelapnya alam kebebasan pers. Pelita sebagai penuntun jalan agar tak tersesat.
UU Pers dan kode etik jurnalistik adalah petunjuk dan penanda bagi insan pers dalam memasuki alam kebebasan, hingga sampai arah tujuan yang dituju.
Ada 2 aspek penting yang menjadi subtansi sebagai harapan lahirnya pers yang bermartabat, berintegritas, profesional dan bertangungjawab.
Pertama, kualitas sumber daya manusia insan pers itu sendiri. Tanpa kualitas SDM yang bagus niscaya akan melahirkan karya jurnalistik yang baik. Wartawan tak bisa sing sa labing asal jadi. Butuh proses yang panjang dalam mengolah kapasitas dan kompetensi dirinya.
Secarah tehnik sudah ada metode dalam yang digalakkan olah lembaga/ organisasi pers misalanya uji kompetensi wartawan ( UKW ) atau pendidikan dasar tentang jurnalistik.
Bekal ilmu jurnalistik atau pendidikan jurnalistik yang memadai diyakini sang wartawan akan mampu memasuki alam kebebasan pers.
Dijalan kebebasan tersebut, akan diperhadapkan pada aspek hukum positif dan hukum alam, jika pelita itu redup atau padam.
Bagaimana pelita itu tak padam ? Tentu dibutuhkan integritas dalam menghadang setiap tiupan angin. Sebab alam kebebasan penuh dengan godaan.
Kedua, kualitas spritual yang harus dimiliki seorang wartawan agar tak mampu goyah dan berdiri tegak dijalan yang benar. Ingat setiap produk jurnalistik akan dipertangungjawabkan di depan Allah SWT.
Pesan kebenaran harus lahir dari tangan sang wartawan dan tak bisa ditawar – tawar lagi.( QS.al-Ahzab : 70-71)
Perinsip – perinsip etika profesi mutlak menjadi pedoman bagi seorang wartawan dalam menjalankan profesinya. Karena konsep tersebut bersumber dari Alquran dan hadist.
Sebab itu, mengedepankan prinsip kejujuran dalam sebuah karya jurnalistik adalah keniscayaan. Kejujuran hanya bisa dicapai dengan rasa takut kepada Sang Pencipta.
Wartawan Juga Manusia
Sebagai manusia tentu tak sempurna. Boleh jadi tiap hari bergelimang dengan dosa dan kesalahan. Apalagi dunia pers tak lepas dari beragam macam informasi yang berseliweran. Gelap dan terang silih berganti menyelimuti alam kebebasan manusia.
Dalam konteks qaulan sadidan pesan kejujuran yang lahir dari tulisan sang wartawan dapat tercermin dari isi pesan atau berita yang disampaikannya.
Kebebasan dirinya dalam menuliskan satu pesan ditentukan seberapa besar nilai kejujuran dan keistiqomaan sang wartawan tersebut. Keteguhan hati nurani menjadi sangat penting dalam menyuarakan satu kebenaran.
Bahasa yang digunakan harus mudah dipahami dan jelas. Prinsip etika dalam karya jurnalistik harus dijunjung tinggi. Saat ini pers dituntut bersikap netral dan terus mengawal demokrasi menuju transisi kepemimpinan nasional.
Kebebasan pers bukan berarti bebas sesuka hati seorang wartawan. Mempertimbangkan dampak hukum dan dampak sosial. Lebih dampak hubungan manusia dengan Allah SWT. Sebab menghakimi individu atau membuka aib seseorang bagian yang dilarang bagi seorang muslim.
Wajah yang tersembunyi akan nampak dari hati. Goresan tangan akan nampak dari dalam hati. Sebab hati cerminan sikap dan perilaku manusia.(*)
Selamat Hari Pers Nasional, Pers Makin Jaya, Pers Makin Dewasa, Pers suara kebenaran.