Oleh : Muslimin.M
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca berita di sebuah media seorang kepala dinas di pindahkan setelah beberapa bulan menunjukkan kinerja positifnya dalam program reformasi birokrasi, ia dipindah karena dinilai tidak cukup kompatibel dengan kepentingan politik kepala daerah, posisinya digantikan oleh figur yang lebih dekat secara personal dengan sang kepala daerah tersebut.
Peristiwa diatas, hanya contoh kecil dari sekian masalah birokrasi saat ini. Dan jika kita simak beberapa tahun terakhir, netralitas birokrasi semakin dipertanyakan, terutama saat mendekati momentum politik.
Padahal,
Birokrat adalah pelayan publik yang profesional dan netral, justru terseret dalam pusaran kepentingan politik jangka pendek. Situasi ini tidak hanya mencederai prinsip meritokrasi, tetapi juga berdampak pada stabilitas pelayanan. Ketika jabatan strategis diisi berdasarkan afiliasi politik, maka kualitas pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan menjadi taruhannya.
Lihatlah,
bagaimana situasi setiap menjelang pemilu, terutama pilkada, kita dihadapkan pada kenyataan yang berulang, birokrasi yang seharusnya menjadi alat negara, justru berubah menjadi alat kekuasaan. Dalam beberapa kasus, aparatur sipil negara yang netral, berintegritas, dan berprestasi tak lagi mendapat tempat yang layak.
Jujur saja, kondisi ini bukan cerita baru, dan justru tak pernah benar-benar dianggap genting. Kepala daerah yang baru terpilih merasa sah mengganti pejabat struktural demi menciptakan ‘tim seirama’ sebuah istilah halus dari upaya membangun barisan birokrat loyalis. Dan yang lebih menyedihkan, praktik ini tak hanya dibiarkan, tapi bahkan malah dinormalisasi dalam bahasa politik dan administrasi.
Banyak kalangan menilai bahwa birokrasi yang ter politisasi adalah birokrasi yang pincang. Ia kehilangan kemampuannya untuk bersikap objektif, kehilangan keberanian untuk memberi masukan yang jujur, dan kehilangan kepercayaan dari publik. Dan ketika setiap jabatan birokrasi ditentukan oleh seberapa dekat seseorang dengan penguasa, maka kebijakan pun kehilangan pijakan rasionalnya
Saya kadang berpikir dan bertanya tanya, apa hasil reformasi birokrasi yang selama ini dikampanyekan pemerintah ?, dan apa fungsi Undang-Undang ASN dan peran KASN selama ini ?, jangan-jangan takut atau tidak kuat menahan intervensi politik.
Pertanyaan-pertanyaan seperti diatas banyak disuarakan oleh masyarakat karena situasi nya begitu memprihatinkan. Banyak kepala daerah yang dengan mudah memanipulasi mekanisme mutasi, promosi, dan demosi, seolah birokrasi adalah perpanjangan dari kekuasaan pribadi.
Tentu saja tidak semua kepala daerah bersikap demikian. Tapi pola yang berulang diberbagai daerah menunjukkan ada masalah sistemik yang tak bisa diselesaikan dengan teguran atau surat peringatan semata. Diperlukan reformasi lebih dalam, baik dari sisi hukum, pengawasan, maupun kultur birokrasi itu sendiri. Terutama, kita butuh pemimpin yang sadar batas dan mengerti bahwa birokrasi bukan arena politik.
Dalam pemikiran saya, seharusnya memang ASN harus dibekali keberanian moral untuk bersikap profesional, sekalipun itu berseberangan dengan kehendak kekuasaan.
Ditengah tekanan, loyalitas, seharusnya tetap tegak pada konstitusi dan rakyat, bukan pada siapa yang sedang berkuasa. Sebab birokrasi yang kuat dan netral bukan hanya fondasi pemerintahan yang sehat, tapi juga benteng terakhir demokrasi dari kecenderungan otoritarianisme.
Dari konteks diatas, sudah saatnya publik harus bersikap tegas, bahwa birokrasi bukan milik partai politik, ASN bukan alat pemenangan. Jika negara ingin maju, maka birokrasi harus dimerdekakan dari intervensi politik. Tanpa itu, semua retorika reformasi hanyalah sandiwara yang menyesatkan publik.
Kita perlu satu kesepahaman bahwa netralitas birokrasi merupakan pilar penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, profesional, dan akuntabel. Kita tidak mau justru birokrasi menjadi tersandera, meskipun
faktanya begitu rentan terhadap intervensi politik, bukan hanya dalam momentum politik elektoral seperti pemilihan kepala daerah, tetapi juga dalam dinamika keseharian pemerintahan.
Keprihatinan kita bahwa politisasi birokrasi muncul dalam bentuk yang sistematis dari berbagai wujud. Pejabat-pejabat struktural digeser, diganti, atau dipromosikan bukan berdasarkan rekam jejak dan kompetensi, apalagi integritas, melainkan karena kedekatan, loyalitas personal kepada kepala daerah. Dan bagi birokrat yang tidak sejalan, tidak berkontribusi, tidak berjasa politik, bahkan hanya dianggap “netral” sekalipun, bersiap-siap disingkirkan secara halus melalui mutasi yang tak masuk akal.
Kondisi ini bukan hanya melukai sistem merit yang menjadi fondasi reformasi birokrasi, tetapi juga menurunkan moral dan semangat ASN yang ingin bekerja profesional, ASN yang jujur, kompeten dianggap penghambat dan menjadi beban, dan layak disingkirkan. Sungguh diluar logika manusia sehat.
Menyelamatkan birokrasi dari jeratan pragmatisme politik bukan hanya soal administrasi atau aturan hukum. Tapi ini soal masa depan demokrasi yang begitu susah dibangun. Birokrasi yang kuat dan netral adalah penopang negara yang sehat. Jika kita ingin negeri ini, daerah ini bergerak kearah yang lebih baik, maka birokrasi harus dibebaskan dari dominasi politik jangka pendek, hilangkan hak memilih dan dipilih sebagaimana halnya TNI polri.(**)