Oleh : Muslimin.M
Kira-kira seminggu yang lalu saya diajak seorang kawan berdiskusi banyak hal salah satunya tentang seleksi calon pejabat eselon yang lagi ramai di berbagai daerah, dan tentu saja menarik dibincang mengingat para calon pejabat ini menjadi garda terdepan dalam menjalankan roda pemerintah didaerah, akhirnya kami tiba pada satu kesimpulan tentang seberapa penting dilakukan suatu assessment bagi para pejabat ?,
jujur, saya pun kadang bertanya-tanya, mengapa kita terjebak dalam sebuah sistem yang semakin tidak adil ?, sistem yang mengklaim berorientasi pada hasil dan meritokrasi, namun kenyataannya hanya sebuah rutinitas penuh formalitas yang menipu.
Saya kadang berpikir dan merasa tidak pelu untuk menilai kualitas seseorang berdasarkan kompetensi yang sesungguhnya, baik itu assessment dalam bentuk tes psikologi, wawancara, simulasi seharusnya menjadi alat ukur yang objektif yang menilai seorang berdasarkan kemampuan dan keahliannya.
Tapi, kenyataannya tidak selalu demikian sebab proses assessment ini bisa dikatakan hanya sebuah proses formalitas. Hasilnya sudah bisa ditebak sejak awal karena yang lolos adalah mereka yang punya koneksi, kedekatan dengan pihak yang berkuasa. Mereka yang memiliki jaringan yang kuat yang tahu bagaimana *bermain* dalam sistem adalah yang paling diuntungkan. Sementara yang memiliki kompetensi yang mumpuni, yang bekerja keras, akan tersingkir tanpa tahu apa yang salah.
Bagaimana bisa kita berbicara tentang meritokrasi jika proses seleksi saja sudah terkontaminasi dengan kepentingan ?
Tentu saya tidak bermaksud menyederhanakan, meremehkan pentingnya proses seleksi itu sendiri. Tetapi kenyataan bahwa banyak assessment hanya dilakukan untuk memberi legitimasi pada keputusan yang sudah dibuat sebelumnya sangatlah mengganggu. Tes dan wawancara yang seharusnya objektif malah menjadi ajang pencitraan, dimana para peserta terjebak dalam ketidakadilan yang dibuat-buat. Jika kita terus menerus membiarkan sistem ini berjalan, kita hanya akan mencetak lebih banyak birokrat palsu dan semakin memperparah ketidakadilan yang sudah ada.
Birokrat palsu ini adalah mereka yang naik jabatan bukan karena dedikasi atau kinerja yang luar biasa, tetapi karena mereka pandai memainkan politik birokrasi. Mereka yang menguasai seni berbicara, membuat laporan yang indah, tetapi ketika diminta untuk turun langsung ke lapangan dan berhadapan dengan realitas, mereka justru gagal total. Mereka mungkin tahu bagaimana menulis surat keputusan atau mengatur rapat, tetapi tidak tahu bagaimana menghadapi masalah yang sesungguhnya dihadapi oleh masyarakat.
Saya sering melihat,
diberbagai instansi, mereka yang dipromosikan bukanlah yang paling terampil atau yang paling berdedikasi, tetapi yang paling pandai menyesuaikan diri dengan kepentingan atasan atau penguasa. Dan ironisnya, mereka yang *lulus* dalam sistem ini malah menjadi contoh bagi generasi birokrat selanjutnya. Mereka yang berhasil dalam permainan ini menjadi patokan, sementara yang lebih kompeten tetapi tidak pandai dalam permainan tersebut, justru tersingkir.
Sistem yang menggabungkan assessment palsu dengan birokrat palsu ini membentuk sebuah lingkaran setan yang sangat sulit diputus. Mereka yang lolos dalam proses seleksi yang penuh rekayasa adalah orang-orang yang akhirnya menjaga dan memperpanjang keberadaan sistem tersebut. Kenapa ? karena dengan adanya sistem yang tidak adil ini tetap diuntungkan. Mereka mendapatkan jabatan, mendapatkan pengaruh, dan tetap bertahan, bahkan jika kinerjanya sangat buruk.
Kita berada dititik yang sangat memprihatinkan ketika birokrasi tidak lagi menjadi tempat untuk mengembangkan potensi terbaik bangsa, tetapi justru menjadi tempat untuk memelihara kepentingan segelintir orang. Seorang pejabat bisa saja duduk dikursi yang strategis, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang ada. Yang ada hanyalah rutinitas, laporan yang tak ada habisnya, dan pembenaran atas kegagalan yang sebenarnya bisa dihindari.
Saya bertanya-tanya, jika kita tidak melakukan perubahan mendalam,
kemana arah negara ini ? Jika kita terus menerus membiarkan orang-orang yang tidak kompeten menduduki jabatan penting, siapa yang akan membawa perubahan nyata bagi bangsa ini ?
Mungkin sudah saatnya kita benar-benar merenungkan makna dari kata reformasi birokrasi. Reformasi tidak hanya soal merombak peraturan atau memperkenalkan teknologi baru. Reformasi birokrasi yang sesungguhnya harus dimulai dari evaluasi yang serius terhadap sistem seleksi dan promosi yang ada. Kalau proses seleksi masih penuh dengan kepentingan politik dan koneksi, maka kita hanya akan menghasilkan lebih banyak birokrat palsu. Kita tidak bisa berharap banyak dari birokrasi yang tidak adil.
Saya percaya bahwa kita masih bisa memperbaiki sistem ini, tetapi hanya jika kita punya keberanian untuk mengubahnya dari dalam. Kita membutuhkan sistem seleksi yang benar-benar objektif yang menilai seseorang berdasarkan kemampuan dan integritas, bukan berdasarkan siapa kenal atau seberapa besar pengaruh yang dimilikinya.
Jika kita ingin menciptakan pemerintahan yang benar-benar melayani rakyat, maka kita harus berani mendobrak kebiasaan lama yang menjerat birokrasi kita. Kita butuh birokrat yang benar-benar mengerti esensi dari pelayanan publik yang berani mengambil langkah konkret untuk membuat perubahan dan yang tidak hanya berbicara tanpa tindakan.
*Birokrat palsu*
Kita hidup dizaman ketika semuanya ingin tampak profesional. Rekrutmen harus lewat assessment. Promosi harus berbasis merit. Pelatihan pun dilengkapi dengan asesmen awal dan akhir. Semua itu hanya baik
diatas kertas. Dibalik parade sistem yang tampak modern itu, tersembunyi dua wajah busuk birokrasi, assessment palsu dan birokrat palsu.
Saya faham bahwa assessment palsu adalah proses penilaian yang tampak ilmiah, tapi hasilnya bisa ditebak. Ia dikendalikan bukan oleh kompetensi, melainkan oleh koneksi dan kompromi. Skor bisa diatur, nilai bisa dinaikkan, ranking bisa dinegosiasikan. Yang penting, orang yang *harus lolos*, *ya lolos*.
Dan siapa yang paling diuntungkan dari penilaian palsu ini ?, mereka yang tampak cerdas diatas kertas, tapi kosong saat diberi tugas nyata. Mereka yang lolos seleksi karena titipan, bukan karena kemampuan. Mereka kemudian naik jabatan, ikut pelatihan, dan dinyatakan *kompeten*, padahal dalam praktik, mereka bahkan tidak tahu cara menyelesaikan persoalan dasar pelayanan publik.
Lalu sistem pun mengulang dirinya sendiri ? assessment palsu mencetak birokrat palsu, dan birokrat palsu akan terus menjaga agar assessment berikutnya tetap palsu. Sebab bila sistem itu benar-benar adil, merekalah yang pertama kali akan tersingkir.
Inilah lingkaran setan birokrasi kita, berpura-pura profesional, tapi alergi pada kejujuran. Reformasi birokrasi jadi sekadar ritual lima tahunan. Evaluasi kinerja menjadi laporan penuh istilah teknis, tapi minim perubahan nyata di lapangan.
Sudah saatnya publik bersuara lebih keras. Assessment harus transparan, bisa diaudit, dan bebas dari intervensi politik. Birokrat harus diuji bukan hanya lewat angka, tapi lewat kinerja riil di lapangan. Jika tidak, kita hanya akan terus melihat wajah-wajah baru yang sebenarnya wajah lama dengan topeng yang berbeda.
Karena bila yang palsu terus dipertahankan, maka yang asli akan pergi satu per satu. Dan yang tersisa hanyalah institusi-institusi yang sibuk menilai dirinya sendiri, tanpa pernah benar-benar berubah. Dan ujung dari semua itu adalah assessment palsu dan birokrat palsu yang menipu diri sendiri.(**)