Oleh : Mursalim Majid ( Ketua Bid Pembelaan/advokasi Wartawan PWI Sulbar)
Apapun alasannya, sikap arogansi tak dibenarkan dalam aspek hukum, lebih pada agama. Apalagi jika arogansi itu melahirkan kekerasan fisik.
Sejatinya sikap oknum yang bagian dalam rombongan seorang pejabat negara setingkat menteri, bisa memahami tugas seorang wartawan ketika berada di lapangan.
Bukan malah mempertontonkan sikap yang tidak terpuji sebagai hamba Allah. Saling mengharga dan saling menjunjung tinggi tugas profesi masing – masing adalah cara yang elegan.
Bukan dengan melakukan benturan fisik dengan kekerasan terhadap wartawan. Karena itu bisa berdampak hukum dan tak ada yang kebal hukum di negeri ini.
Apa yang dialami oleh dua orang wartawan Adhe Junaedi Sholat dan Abdul Rahman adalah bentuk – bentuk penghalangan terhadap kebebasan pers.
Padahal kebebesan pers di Indonesia sudah dijamin oleh UU Pers No 40 tahun 1999. Semestinya Oknum tersebut memahami bahwa kemerdekaan pers itu bagian dari demokrasi yang harus ditegakkan.
Penegakan kemerdekaan pers tak bisa ditawar – tawar lagi. Inilah nafas demokrasi. Jika kemerdekaan pers dikekang sama saja membunuh demokrasi.
Semestinya semua pihak harus menjaga dan memelihara kemerdekaan pers itu sebagai buah reformasi. Bagaimana mungkin negara bisa maju jika ada pihak yang tidak menghargai profesi wartawan itu.
Pers adalah pilar demokrasi yang terus memberi pencerahan dan pencerdasan kepada publik. Sangat disayangkan jika ada oknum yang mencederai atau melukai wartawan hanya karena ingin mempertonton kekuasaannya. Model seperti itu sudah tak jaman lagi di era moderen saat ini.
Karena itu ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat tak boleh dipenjara. Suara pers sejatinya adalah suara kebenaran. Sedangkan kebenaran itu sangat dekat dengan Tuhan.(*)