JAKARTA.DAULATRAKYAT.ID.Siberkreasi mengadakan diskusi online pada Zoom meeting dan disiarkan melalui live streaming di Channel YouTube dan Facebook Siberkreasi dengan topik ‘Siberkreasi Hangout Online: Komentarmu Harimaumu’.
Diskusi online kali ini menghadirkan tiga narasumber dan dimoderatori oleh Annisa Virdianasari dan Larry Nullanov sebagai anggota Siberkreasi. Narasumber pertama, Ajar Edi seorang Director, Corporate Affairs di Microsoft Indonesia. Narasumber kedua, Virna Lim selaku Ketua Umum Sobat Cyber Indonesia. Narasumber ketiga, Paul Shady yang dikenal sebagai Music and Vocal Content Creator.
Webinar dibuka dengan pembahasan laporan tahunan terbaru oleh Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan netizen atau pengguna internet dengan tajuk ‘2020 Digital Civility Index’. Di dalam laporan tersebut, Netizen Indonesia mendapatkan predikat kategori Netizen Paling Tidak Sopan se-Asia Tenggara yang berada di urutan ke-29 dari 32 Negara. Ini terbukti dengan penurunan minus 16 poin di orang-orang dewasa dan skor DCI tetap untuk kalangan muda. Demi mewujudkan masyarakat yang lebih cakap menggunakan sosial media dan memahami norma, perlu ditumbuhkannya Netiquette atau etika-etika dalam berperilaku di sosial media yang baik dan benar.
Pemaparan pertama oleh Ajar Adira sebagai Director, Corporate Affairs di Microsoft Indonesia yang bersama Microsoft telah mengkampanyekan Kesopanan Digital sejak dari tahun 2016. ‘Digital Civility Index’ yang dalam Bahasa Indonesia ditranslasikan menjadi ‘Indeks Keberadaban Digital’ yang menunjukkan tingkat keberadaban pengguna internet atau netizen. DCI pengukur keterpaparan seumur hidup terhadap risiko online, parameter yang diukur adalah perilaku, gangguan, reputasi dan seksual. Beliau menjelaskan bahwa adanya kampanye berbasis penelitian ini bertujuan untuk mewujudkan Kesopanan Digital dan demi mendorong kaum muda dan kaum dewasa di seluruh dunia untuk memimpin dengan empati, dan kebaikan, serta mempromosikan Kesopanan Digital di setiap interaksi digital.
Indeks Keberadaban Digital tahun 2020 mencatat data atas pengalaman remaja usia 13 sampai 17 tahun dan orang dewasa dari usia 21 tahun tentang risiko online yang terpapar ke mereka. Penelitian ini dilaksanakan serentak di 32 negara dengan mekanisme pengisian formulir online. Hasil survei membuktikan bahwa setiap negara memiliki pengalaman yang beragam dalam Kesopanan Digital dengan jumlah responden yang sama yaitu 500 orang.
Berdasarkan survei yang dilakukan di Indonesia yang menghasilkan data selama melakukan interaksi sosial secara online, Netizen negeri ini mengalami penurunan 8 poin menjadi 76, walaupun masih terhitung netral secara global. Dari survei ini, ditemukan bahwa Netizen Indonesia mengalami banyak hoaks dan hujan kebencian selama proses berinteraksi sosial di dunia digital. Tercatat risiko yang dialami Netizen Indonesia terbagi menjadi 3 kategori, yaitu hoaks, trik konfidensi (scam) atau penipuan dengan persentase risiko sebesar 48% datang dari orang tidak dikenal dan 24% dari koresponden menghadapi risiko tersebut dalam kurun waktu seminggu terakhir. Namun, Netizen Indonesia juga melaporkan interaksi sosial yang lebih baik selama pandemi dengan meningkatnya rasa saling tolong-menolong, jiwa komunitas yang besar, membuktikan rasa simpati dan empati membuat Netizen merasa nyaman selama berinteraksi sosial.
Bapak Ajar Adira juga mengungkapkan beberapa saran yang dapat membangun budaya sosial yang lebih beradab melalui 2 hal utama. Yang pertama adalah upaya yang bisa dilakukan oleh pembuat kebijakan dan berkolaborasi dengan industri untuk membuat aturan untuk menangkis potensi eksploitasi atau risiko online. Memegang prinsip untuk terus mengembangkan budaya menghormati orang lain, menghargai perbedaan pendapat untuk menciptakan ekosistem sosial yang lebih baik.
Yang kedua, adalah untuk mempercayakan kepada kaum pendidik untuk turut mewujudkan keberadaban digital. Dapat dimulai dari memasukkan ke dalam kurikulum sekolah, mengintegrasikan pengalaman interaksi sosial di digital dengan kehidupan sosial secara tradisional dan program-program setelah kegiatan belajar-mengajar. Perlu juga mengajarkan untuk berani bersuara dalam berbagi cerita tentang pengalaman yang positif maupun negatif untuk membangun semangat ini.
“Ada prinsip utama yang mungkin teman-teman Netizen Asyik Indonesia harus selalu mengingatkan diri sendiri dan yang lain, bahwa yang pertama kita harus menghadapi perbedaan, menghormati satu sama lain, memberi jeda sebelum memberi respon, kemudian tentu bersuara untuk diri sendiri dan orang lain ketika ada perilaku yang kita anggap tidak adil.”
Pemaparan kedua datang dari Virna Lim yang menjelaskan pentingnya menumbuhkan kecerdasan masyarakat dalam dunia digital dengan menerapkan Netiquette yang berarti etika, aturan-aturan dan kebiasaan umum yang berlaku di seluruh dunia. Menurut Virna, faktor yang membuat Netiquette Netizen Indonesia rendah adalah adanya transformasi dunia digital yang belum diimbangi dengan literasi digital yang mumpuni, sehingga penggunaan internet positif masih kurang dimanfaatkan dengan baik. Virna juga menjelaskan bahwa selama ada pandemi Covid-19, akses internet menjadi tidak terbatas, walau seyogyanya ada batasan usia dalam akses layanan internet. Namun, dengan adanya pengalihan kebiasaan baru yang serba daring menyebabkan anak usia di bawah umur jadi terbiasa dengan perangkat digital dan juga internet.
“Kita juga harus membangun ekosistemnya. Sosial-budaya dan etika harus dijaga sesuai dengan ideologi negara. Jika, sosial media dan ruang digital di Indonesia sudah dipenuhi amalan Pancasila, maka saya yakin ruang digital di Indonesia akan selalu penuh dengan toleransi bagi semua Netizen. Kunci dari semua ini, bagaimana negara bisa memberikan pengaruh dalam ruang digital dan juga pengamalan Pancasila di ruang digital, karena kami yakin Indonesia adalah masyarakat yang sopan di mata dunia. Setelah itu adalah kunci dari keberhasilan suatu negara dalam membangun masyarakat digital adalah membangun ekosistem digital yang sehat, dari membangun SDM, membangun persepsi yang positif di sosial media dan juga membangun masyarakat yang lebih produktif dalam penggunaan internet.”
Pemaparan ketiga oleh Paul Shady yang membicarakan tingkat kesopanan Netizen Indonesia di dunia maya masih kurang sopan. Terbukti dengan adanya penyerangan pada kolom komentar akun Microsoft saat laporan tahunan tersebut dirilis ke publik. Paul menjelaskan bahwa itu jadi gambaran masyarakat Indonesia yang masih belum dapat memikirkan dampak dan risiko atas perilaku di dunia digital yang akan terekam dalam jejak digital. Sebagai publik figur, Paul juga membagikan pengalamannya mendapat cacian di saat orang tidak setuju dengan apa yang ia bagikan ke sosial media.
“Saya lebih apresiasi orang yang mau mengkritik saya atau apapun itu, saya mau menerima, tapi kalau cuma yang maki-maki saya jadi tidak mengerti saya salahnya di mana. Kalau mereka kasih argumen yang baik, ya pasti saya bisa jadi pelajaran buat saya kedepannya agar saya bisa menjadi lebih baik”
Pada akhirnya, ketiga narasumber setuju pentingnya untuk selalu memperlakukan orang lain seperti bagaimana Anda ingin diperlakukan dalam dunia digital, menghormati perbedaan, berpikir sebelum bertindak dan berani bersuara ketika dihadapkan dengan ketidakadilan dalam interaksi sosial di dunia digital.
Webinar dilanjutkan dengan sesi tanya jawab sampai dengan selesai acara.
Webinar selengkapnya dapat disimak di YouTube Siberkreasi pada tautan https://www.youtube.com/watch?v=nekzkaPV1hQ&ab_channel=Siberkreasi
Informasi mengenai kegiatan webinar edukatif seputar generasi digital Siberkreasi berikutnya dapat dipantau di Instagram @siberkreasi.