Oleh : Muslimin.M
“Saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai gubernur dan wakil gubernur/bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.”
Sumpah dan janji diatas telah diucapkan oleh para kepala daerah tanggal 20 februari 2025 di istana negara dipandu langsung oleh presiden Prabowo Subianto, disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia, dan itu artinya kepala daerah hasil pilkada tahun 2024 telah resmi menjabat dan siap lahir batin dalam menunaikan amanah rakyat sebagaimana sumpah dan janji yang telah diucapkan.
Jika kita resapi secara mendalam makna yang terkandung dalam sumpah itu, sesungguhnya betapa sangat mengerikan dan menakutkan jikalau yang mengikrarkan itu lalai apalagi sengaja mengabaikannya, sebab bukan hanya ancaman didunia yang berupa sanksi hukum dan moral, tetapi juga ancaman dan hukuman di hadapan Tuhan Yang Maha Esa di akhirat kelak yang begitu menakutkan.
Sumpah yang diucapkan oleh seorang kepala daerah saat dilantik memiliki makna yang sangat penting baik dari segi moral, hukum, maupun spiritual. Sumpah ini bukan sekadar formalitas dalam prosesi pelantikan, tetapi juga merupakan suatu bentuk komitmen yang mendalam terhadap tugas, tanggung jawab dan kewajiban yang akan diemban selama masa jabatan.
Dalam sumpah tersebut, kepala daerah berikrar untuk menjaga dan menegakkan konstitusi negara, mematuhi hukum, komitmen menjalankan tugasnya sesuai peraturan perundang yang berlaku serta tidak menyalahgunakan kekuasaannya, dan memastikan bahwa akan bertindak dengan jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan pemerintahan daerah.
Dan yang lebih sakral menyertakan janji kepada Tuhan bahwa tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyat dan negara, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral dan spiritual, ini menegaskan bahwa kepala daerah berkomitmen untuk menjalankan tugasnya dengan penuh integritas, mengutamakan kejujuran, dan menghindari segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan masyarakat.
Menyatakan niat untuk menjaga amanah yang diberikan oleh rakyat, bahwa ia akan bekerja untuk kepentingan umum, memprioritaskan kesejahteraan masyarakat, dan menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab, menjadi simbol dari pengabdian seorang pemimpin yang siap untuk melayani rakyatnya dengan sepenuh hati.
Singkatnya, sumpah itu bukan hanya sekadar kata-kata yang diucapkan, tetapi merupakan ikatan moral dan hukum yang menjadi landasan dalam setiap tindakan yang diambil selama masa jabatan. Sumpah ini menjadi pengingat bahwa seorang kepala daerah bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga pelayan rakyat yang bertanggung jawab kepada negara, Tuhan, dan masyarakat.
Lalu, bagaimana dengan janji ? Janji lebih spesifik dan berkaitan dengan program kerja, visi, serta misi yang akan dijalankan selama masa jabatannya. Janji lebih terukur dan berfokus pada hasil yang diharapkan oleh masyarakat.
Janji berkaitan dengan pencapaian tujuan pembangunan daerah, termasuk mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan sosial, dan menciptakan lapangan kerja, diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang efektif dan efisien.
Berbeda dengan sumpah, janji bisa dievaluasi oleh masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban. Jika janji yang disampaikan tidak terealisasi, masyarakat berhak untuk menuntut pertanggungjawaban dari Kepala Daerah tersebut.
Menguji keduanya
Sumpah lebih bersifat sakral, moral, dan berkaitan dengan integritas pribadi, sedangkan janji lebih berkaitan dengan komitmen untuk memenuhi ekspektasi rakyat melalui kebijakan dan program kerja.
Sumpah berfokus pada kepatuhan kepada hukum dan Tuhan, serta kesetiaan terhadap negara dan rakyat. Janji, di sisi lain, berfokus pada apa yang akan dicapai, dilakukan selama masa jabatan dengan tujuan yang lebih konkret dan terukur.
Sumpah tidak dapat dipertanyakan secara langsung oleh masyarakat, karena lebih bersifat pribadi dan spiritual. Tetapi, janji lebih mudah dipertanggungjawabkan secara langsung melalui hasil nyata yang tercapai.
Sumpah dan janji yang diucapkan oleh Kepala Daerah saat dilantik merupakan dua komponen yang saling melengkapi dalam menjalankan pemerintahan. Sumpah memberikan dasar moral dan hukum yang kuat, sedangkan janji menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menilai kinerja Kepala Daerah selama masa jabatan. Keduanya menunjukkan bahwa seorang Kepala Daerah tidak hanya bertanggung jawab kepada Tuhan dan negara, tetapi juga kepada rakyat yang telah memberikan amanah dan kepercayaan kepadanya.
Kepercayaan masyarakat terhadap seorang pemimpin sangat tergantung pada integritas dan kemampuannya untuk menepati janji. Ketika seorang pemimpin gagal memenuhi harapan yang sudah disampaikan selama kampanye, dampaknya bisa sangat besar. Bukan hanya hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang tergerus, tetapi juga citra politiknya. Ingkar janji semacam ini menimbulkan rasa kecewa dikalangan masyarakat yang merasa telah dibohongi dan tidak dihargai.
Ingkar janji bisa mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Ketika warga merasa bahwa janji-janji politik hanyalah alat untuk meraih kekuasaan, mereka akan menjadi apatis dan enggan untuk terlibat dalam proses politik berikutnya. Dan ini tentu akan merugikan karena berkurangnya kepercayaan publik dapat menurunkan tingkat partisipasi pemilih dimasa depan.
Dalam konteks politik, citra yang positif sangat penting. Janji yang tidak ditepati dapat digunakan oleh lawan politik untuk menyerang dan menurunkan kredibilitas seorang kepala daerah dalam pemilihan berikutnya. Disisi lain, pengingkaran janji dapat memperburuk hubungan dengan pihak-pihak yang semula mendukung, seperti organisasi masyarakat, kelompok pemuda dan lembaga sosial lainnya menjadi tidak percaya.
Dari perspektif diatas, kita dapat menilai bahwa sebagai pemimpin seharusnya lebih berhati-hati dalam membuat janji. Setiap janji harus didasari dengan perencanaan yang matang dan pemahaman yang realistis mengenai sumber daya yang ada. Jika merasa kesulitan untuk mewujudkan janji tertentu, penting untuk memberikan penjelasan yang transparan kepada masyarakat dan mencari solusi bersama agar tidak terjadi kekecewaan lebih lanjut.
Bahwa kemudian, ada banyak janji yang telah diucapkan ternyata banyak yang tidak dapat ditepati, fakta ini menjadi pembenar bahwa betapa memberi janji begitu mudah ketimbang menepatinya, dan fakta ini pula menggerus kepercayaan masyarakat, bahkan merusak hubungan antara pemimpin dan rakyat, serta menggagalkan upaya untuk membangun daerah yang lebih baik.
Karenanya, para pemimpin daerah harus selalu berkomitmen untuk menepati janjinya demi terciptanya pemerintahan yang bersih, transparan dan terpercaya sebab masyarakat akan selalu menagih janji tersebut jika kepala daerah tidak konsisten menepatinya. Janji adalah hutang yang harus dibayar, slogan ini bukan hanya kata-kata, tetapi menjadi simbol betapa janji harus ditepati apalagi janji yang berkaitan dengan kehidupan rakyat.(**)