Oleh : Muslimin.M
Tulisan ini saya awali dari sebuah cerita tentang contoh politisasi birokrasi. Suatu hari, di sebuah kantor pemerintahan daerah, seorang kepala dinas baru dilantik setelah pergantian pemerintahan. Sebelumnya, posisi itu dipegang oleh seseorang yang cukup berpengalaman dan dihormati karena profesionalismenya. Namun, kepala dinas yang baru ini dikenal dekat dengan salah satu politisi besar yang saat itu sedang berkuasa.
Beberapa minggu setelah pelantikan, berbagai perubahan mulai terasa. Banyak staf yang sudah lama bekerja di posisi tertentu tiba-tiba dipindahkan tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya, beberapa pegawai yang baru saja diterima dengan latar belakang yang beragam mulai menduduki posisi strategis.
Suatu hari, seorang pegawai senior yang sudah bekerja selama 20 tahun di dinas tersebut merasa frustrasi. Dia sudah mencoba memberi masukan mengenai beberapa keputusan yang menurutnya tidak tepat, tetapi selalu diabaikan. Pegawai itu pun akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan kepala dinas baru.
“Pak, saya sudah lama bekerja di sini. Saya paham prosedur dan sudah banyak membantu kelancaran tugas. Tetapi, saya merasa bahwa keputusan-keputusan akhir-akhir ini lebih didasarkan pada loyalitas kepentingan politik daripada profesionalisme,” kata pegawai tersebut.
Kepala dinas itu tersenyum tipis, lalu menjawab, “Pak, saya paham maksud Bapak. Tapi, kita ini hidup di dunia yang penuh dengan politik. Kita harus tahu kapan harus mengikuti arahan dari atas bukan hanya mengikuti prosedur.”
Pegawai itu terdiam, menyadari bahwa jawaban itu bukanlah sesuatu yang bisa dia lawan. Sejak saat itu, dia menyadari bahwa birokrasi yang dulu dia anggap sebagai tempat bekerja dengan prinsip profesionalisme, kini berubah menjadi arena untuk mengamankan kepentingan politik.
Cerita diatas memotret kondisi birokrasi kita saat ini, betapa fenomena ini sudah mengakar kuat dikalangan birokrasi pemerintahan bahkan seperti menjadi budaya baru bagi kepala daerah yang terpilih melalui pilkada langsung.
Dalam konteks itu, secara umum kita bisa memaknai bahwa politisasi birokrasi merupakan fenomena yang terjadi ketika proses pengambilan keputusan didalam birokrasi, baik dalam pengangkatan pejabat, penempatan jabatan, atau penyusunan kebijakan lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu daripada oleh pertimbangan profesionalisme dan kompetensi.
Dalam sistem pemerintahan yang ideal, birokrasi seharusnya berfungsi secara netral, berdasarkan prinsip meritokrasi, yaitu memilih dan mempromosikan pejabat berdasarkan kualifikasi dan kemampuan mereka. Namun, karena politisasi menyebabkan proses tersebut tergeser oleh pertimbangan kesetiaan politik dan hubungan partai.
Ketika birokrasi dipolitisasi, kualitas pelayanan publik menjadi terancam. Pejabat publik yang seharusnya dipilih berdasarkan kemampuan profesional digantikan oleh mereka yang memiliki kedekatan politik dengan penguasa atau partai tertentu. Akibatnya, jabatan penting yang mempengaruhi pelayanan masyarakat diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan, sehingga keputusan-keputusan yang tidak efisien dan keliru pada akhirnya merugikan rakyat yang seharusnya dilayani dengan baik oleh negara.
Peningkatan korupsi
Politisasi birokrasi memperburuk citra pemerintahan. Masyarakat yang melihat bahwa keputusan-keputusan publik lebih didasarkan pada kepentingan politik daripada pada kebutuhan rakyat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Ketika birokrasi lebih terlihat sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan politik, bukan sebagai lembaga yang bekerja untuk kesejahteraan rakyat, maka legitimasi pemerintahan akan terguncang.
Dalam jangka panjang, politisasi birokrasi dapat menghambat reformasi dan pembangunan yang diperlukan untuk kemajuan negara. Keputusan-keputusan yang diambil untuk memenuhi kepentingan politik jangka pendek dapat mengabaikan perencanaan jangka panjang yang diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan. Misalnya, kebijakan yang hanya bertujuan untuk memenangkan pemilu atau mendapatkan dukungan politik tertentu bisa mengabaikan kebutuhan mendasar dalam sektor pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur.
Salah satu implikasi besar dari politisasi birokrasi adalah peningkatan potensi korupsi. Ketika pejabat diangkat atau dipromosikan berdasarkan loyalitas politik akan ada kecenderungan lebih terikat pada kepentingan politik daripada pada kewajiban untuk melayani masyarakat dengan integritas. Dalam kondisi seperti ini, pejabat yang tidak memiliki komitmen terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang baik bisa lebih rentan terhadap godaan untuk melakukan praktik-praktik korupsi, seperti menerima suap atau menyalahgunakan wewenang.
Korupsi dapat meningkat karena adanya tekanan dari kelompok politik atau partai yang menginginkan keuntungan dari kebijakan atau proyek tertentu. Pejabat yang terikat secara politis akan merasa berkewajiban untuk membalas dukungan politik dengan memberikan proyek-proyek atau izin yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, meskipun itu merugikan negara dan rakyat. Dalam situasi seperti ini, alokasi anggaran yang seharusnya untuk kepentingan publik malah diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Politisasi yang meresap dalam birokrasi dapat menciptakan lingkungan yang lebih rentan terhadap praktik korupsi struktural. Ketika sistem birokrasi lebih mengutamakan loyalitas politik daripada meritokrasi, maka sistem pengawasan pun menjadi lebih lemah karena banyak pejabat yang tidak berani mengambil tindakan tegas untuk memberantas korupsi di kalangan kolega politiknya. Akibatnya, korupsi bukan hanya terjadi pada level individu, tetapi juga bisa menjadi budaya yang mengakar dalam birokrasi itu sendiri.
Menjadi renungan bagi kita bahwa politisasi birokrasi tidak hanya merusak kualitas pelayanan publik, mengurangi kredibilitas pemerintah, memperburuk citra pemerintah di masyarakat tetapi juga meningkatkan tingkat korupsi didalam pemerintahan. Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting untuk menerapkan sistem meritokrasi dalam birokrasi, memastikan bahwa pejabat dipilih berdasarkan kemampuan dan integritas, bukan berdasarkan loyalitas politik semata. Dengan demikian, birokrasi akan kembali berfungsi dengan baik, memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat dan mengurangi ruang bagi praktik korupsi yang merugikan negara.(**)