Oleh : Muslimin.M
Ternyata perbincangan tentang dinasti politik dalam pilkada tahun ini masih begitu mendominasi di ruang-ruang publik, entah itu di ruang media sosial, di warung-warung kaki lima tetap saja ramai dan menarik. Itu artinya masyarakat memiliki antusiasme yang tinggi dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan itu. Dan kita tentu memberi apresiasi kepada mereka bahwa dengan seringnya membincang pilkada itu berarti mereka begitu peduli dengan nasib daerahnya. Dalam lanjutan tulisan kali ini, saya akan memotret dari sisi “kerapuhan masyarakat sipil dan langkah menghadang dinasti politik dalam pilkada”.
Pilkada November 2024 yang akan datang dilakukan secara serentak sedang menjadi diskursus publik sebab proses elektoral ini seolah-olah hanya menjadi arena politik yang memfasilitasi keluarga politik untuk bisa mempertahankan kekuasaan politiknya. Dalam bahasa lain yang lebih populer yaitu politik yang memiliki pertalian dinasti yang sedang tumbuh subur dalam kontestasi politik, terutama teritorial politik yang seringkali menjadi preferensi politik oleh para ilmuwan politik. Karena itu dalam proses kontestasi politik, masyarakat sipil selalu tereliminasi dalam arena politik. Alih-alih sedang mengonsolidasikan demokrasi, justru masyarakat sipil mengalami fragmentasi secara sosial. Meski demikian masyarakat sipil tampaknya masih belum bisa terlibat secara proaktif dalam membangun konsolidasi, sebab sebagian masyarakat sipil juga menjadi bagian yang tidak bisa dinafikan dari klan politik karena adanya pola relasi patronase yang diciptakan oleh para klan politik.
Dan kemudian dari sisi yang lain ada juga patronase ekonomi, sosial, dan politik yang seringkali dijadikan instrumen politik untuk mendulang perolehan suara pada kontestasi politik agar bisa meraih kemenangan. Dan biasanya figur yang sentral dalam keluarga politik akan menjadi kompas politiknya. Mekanisme yang dilakukan tentunya sangatlah beragam oleh antar keluarga politik, seperti patronase ekonomi, misalnya, bisa saja keluarga politik kontestan membutuhkan kekuatan insentif besar dalam arena politik, terlebih masyarakat atau pemilih yang cenderung permisif terhadap politik uang.
Tentu kita memahami bahwa biaya politik yang sangat tinggi menjadi sesuatu yang inheren dalam sistem demokrasi kontemporer yang biasanya digunakan oleh para kandidat untuk memperoleh raihan suara. Sehingga pola politik ini seperti rangkaian atau sistem melingkar yang tidak bisa dilepaskan. Di sisi yang lain, patronase sosial juga mudah ditemui, terutama anggota keluarga politik yang sudah menjadi pengurus organisasi maupun komunitas tertentu, baik organisasi masyarakat keagamaan maupun yang lainnya. Saat mereka terlibat dalam organisasi tersebut, secara eksklusif masuk ke jenjang struktur tertinggi.
Hal ini dilakukan sebagai strategi politik untuk menutup struktur peluang politik masyarakat dan memobilisasi massa.Tak hanya itu, organisasi yang telah menerima anggota klan politik ini akan menerima dukungan berupa program maupun akomodasi politik lainnya, disisi yang lain secara bersamaan ada juga patronase politik yang tidak bisa diabaikan, seperti kekuatan birokrat yang bisa menjadi dominan, sebab sumber daya birokrat baik kuantitas maupun kualitas cukup menggiurkan terlebih jika ada intervensi politik sebelumnya.
Dalam konteks itu, bahwa dinasti politik dan patronase sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dan ini menjadi fakta yang mengkonfirmasi kepada kita bahwa betapa pola ini sudah begitu mendarah daging bahkan seolah menjadi budaya baru dalam setiap perhelatan pesta demokrasi baik itu pemilu maupun pilkada. Itu artinya bahwa keluarga politik yang akan melenggang ke arena politik tentunya sudah memiliki instrumen politik masing-masing tanpa mempedulikan kapasitas dan kemampuannya.
Kerapuhan masyarakat sipil
Kerapuhan yang dialami masyarakat sipil dalam arena politik ini karena sentralisasi kekuasaan yang dominan dan tertutupnya peralihan sirkulasi elite ke masyarakat yang disebabkan karena dimensi patronase yang mengakar. Hadirnya berbagai kebijakan yang memberikan keleluasaan kepada daerah seperti desentralisasi juga turut mendorong kemunculan elite lokal dalam menguasai ekonomi-politik. Para elite lokal ini tidak bisa secara leluasa menguasai sumber daya di wilayahnya saat Orde Baru memimpin, karena sentralisasi kekuasaan. Pada saat yang sama, alih-alih desentralisasi akan menciptakan pemerataan, justru membuka kans sosial, ekonomi, dan politik keluarga politik semakin terbuka dan bertambah. Akhirnya, masyarakat sipil tidak bisa melakukan akselerasi secara sistemik.
Masyarakat sipil dihadapkan pada kekuatan keluarga politik dan oligarki yang memiliki kekuatan politik superior. Dengan kata lain, masyarakat sipil terisolasi dari arena politik. Karena arena politik telah dikuasai oleh keluarga politik sejak awal. Kesukaran yang dialami oleh masyarakat sipil berdampak pada upaya pembangunan konsolidasi demokrasi. Pada dasarnya, memang tidaklah mudah bagi masyarakat sipil untuk tampil dalam arena politik, terlebih keluarga politik juga menerapkan strategi politik menutup kesempatan dengan mekanisme patronase, klientelisme, dan menutup komunikasi dengan elite politik nasional.
Keterlibatan elite politik nasional dalam politik lokal tentunya memiliki implikasi politik, terutama akan terganggunya kekuasaan keluarga politik dalam perebutan kekuasaan. Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk bisa menjadi aktor utama dalam arena politik yaitu dengan membangun aliansi politik. Meskipun, membangun aliansi politik juga tidak semudah yang dibayangkan.
Dalam konteks ini, kita meyakini bahwa meritokrasi politik tampaknya mengalami erosi yang tajam dan kekuasaan politik yang hanya dikuasai oleh individu atau keluarga politik tertentu akan mengakibatkan munculnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebab keluarga yang memiliki afiliasi politik genealogis tentunya memiliki privilese untuk bisa mengakses berbagai program pemerintah. Sehingga bisa menambah kekayaan keluarga politik tersebut.
Dan disisi yang lain kita juga meyakini bahwa partai politik turut menjadi aktor utama dalam mempertahankan status quo keluarga politik. Hal ini tercermin dari lemahnya kaderisasi di internal partai politik dan cenderung mendorong dalam mengusung serta mendukung kontestan yang berasal dari keluarga politik. Tak ayal dalam kompetisi politik seperti pilgub dan pilbup/pilwalkot terjadi pembangunan koalisi besar alias memboyong semua partai politik. Imbasnya, tidak ada kompetisi yang fair dan demokratis.
Yang membuat kita prihatin bahwa sesungguhnya perkembangan politik dinasti tidak lepas dari lemahnya partai politik menjalankan fungsinya. Buruknya proses kaderisasi partai politik dan tiadanya sistem internal partai yang demokratis menyebabkan bangkitnya politik dinasti. Tak ayal, banyak parpol yang mengkader calon kepala daerah hanya berdasarkan hubungan kekeluargaan dari mereka yang sedang berkuasa tanpa mempertimbangkan kompetensi dan integritas.
Menghadang Politik Dinasti
Pada prakteknya politik dinasti cenderung melanggengkan KKN, sehingga upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sulit tercapai. Fenomena Poltik dinasti memang merupakan konsekuensi dari demokrasi. Namun jika politik dinasti terus dibiarkan, bukan hanya mencederai upaya membangun budaya antikorupsi, tetapi kontestasi politik dalam pilkada akan menjadi semu karena dinasti politik yang ikut dalam pilkada dapat menggunakan dengan mudah semua sumber daya publik yang mereka kuasai.
Oleh karenanya beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menghadang politik dinasti agar tidak berkembang dan menjadi budaya baru, diantaranya :(1) dengan memutus mata rantai sumber-sumber pendapatan mereka. Seperti menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement). (2).Reformasi Pemilihan, memperbaiki sistem pemilihan untuk memastikan proses yang lebih adil dan transparan. (3). Pendidikan Politik, meningkatkan kesadaran dan pendidikan politik di kalangan masyarakat untuk mendorong partisipasi yang lebih luas. (4). Kebijakan Anti-Korupsi, memperkuat kebijakan anti-korupsi dan pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Dari konteks diatas, menjadi penting bagi kita bahwa memang tidak mudah memutus mata rantai dinasti ini, ibarat kita mengikat ekornya tetapi kepalanya dibiarkan mematuk kesana-kemari. Daya kejut dinasti dalam setiap momen pemilu sungguh sangat meresahkan dan bahkan cenderung membahayakan. Salah satu bentuk keresahan kita dari itu adalah akan semakin suburnya KKN di kalangan birokrasi baik secara internal maupun eksternal. Dan ini kita harus memiliki komitmen yang kuat untuk mencegahnya. Kita ingin tata kelola pemerintahan dilaksanakan sesuai prinsip dasarnya, yaitu jauh dari KKN dan kepura-puraan.
Kita memahami bahwa politik dinasti merupakan fenomena kompleks yang sering kali mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan dan kesempatan dalam sistem politik suatu negara. Karena itu upaya untuk mengatasi politik dinasti memerlukan perubahan sistemik dan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi. kita perlu membangun komitmen dan kesadaran yang kuat bahwa dinasti politik dalam setiap pemilu termasuk pilkada adalah suatu upaya yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokratis, bahkan menjadi kezaliman politik yang membatasi hak setiap warga dalam berpolitik, terutama dalam mencalonkan diri sebagai pemimpin, termasuk hak bebas dalam menentukan pemimpinnya.(**)