Oleh : Muslimin.M
Disebuah sekolah, seorang guru bertanya kepada murid-muridnya, ” anak-anak, apa bedanya antara kapitalisme dan sosialisme?”. Salah seorang murid menjawab,”guru, dalam kapitalisme, jika saya memiliki satu kelereng dan saya menjualnya,itu disebut keuntungan. Tapi dalam sosialisme, jika saya memiliki satu kelereng dan saya harus memberikannya kepada semua orang, itu disebut redistribusi.” Guru tersenyum mendengarnya, lalu berkata, ” benar, tapi bagaimana kalau saya mengambil kelereng mu dan memberikannya pada murid lain yang tidak memiliki kelereng ?”. Murid itu menjawab dengan cepat, ” guru, itu disebut praktek bisnis yang cerdik,” jawaban dari murid itu membuat gurunya dan se isi ruangan kelas tertawa. Dari cerita ini memberi pengantar pemahaman kepada kita bahwa sebetulnya praktek-praktek kapitalis ataupun sosialis dalam ekonomi atau mungkin dalam keseharian kita sudah sering dilakukan tanpa kita sadari.
Pada zaman kolonial dulu, sekolah formal di negeri ini didirikan sebagai mesin produksi pegawai negeri oleh pemerintah kolonial Belanda, sekolah formal kala itu hanya melahirkan manusia bermental jongos,( Pramoedya). Rupanya kondisi semacam ini sepertinya terwariskan sampai sekarang. Tanpa kita sadari bahwa kapitalisme sudah memasuki hampir semua sendi-sendi aktivitas kegiatan manusia, termasuk dalam pendidikan, hal ini terlihat dari para pemilik modal menjadi pengendali dan penguasa atas keberlangsungan pendidikan, bahkan paradigma masyarakat pun berhasil diubahnya. Cara pandang berbasis kapitalisme mendorong masyarakat mengakumulasikan kapital demi keuntungan pribadi.
Kapitalisme dalam penyelenggaraan pendidikan akan dikuasasi oleh pemilik modal sebagai pembuat kebijakan-kebijakan yang bisa merubah pola pikir masyarakat, sehingga pendidikan diarahkan untuk mencari lapangan pekerjaan semata, tidak diarahkan kepada pemikiran bahwa pendidikan sebagai pencipta pribadi yang memiliki kecerdasan emosional, intelektual dan karakter. Jika kapitalisme masuk ke sekuler pendidikan, maka tujuan dasar pendidikan akan bergeser dari mencerdaskan atau memanusiakan manusia menjadi sebuah bisnis pasar dan selalu berorientasi benefit( materi). Hal ini pula membuat arti sekolah yang dulunya sebagai tempat pertumbuhan karakter manusia menjadi tempat yang seolah-olah hanya untuk mendapatkan ijazah, sehingga tradisi menyontek, plagiat serta menyuap menjadi hal yang biasa dilakukan oleh para pelaku pendidikan.
Dalam konteks yang lain, saya ingin mengajak menelaah kembali hal-hal yang bisa saja terkait dengan kapitalisme pendidikan dengan beberapa regulasi misalnya, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tentu bersifat sistemik pada program-program turunannya pada tataran kebijakan yaitu : pertama, Badan Hukum Milik Negara; Kedua : Sekolah Bertaraf Internasional; Ketiga : World Class University; Keempat: PP No. 77 Tahun 2007 Tentang Bidang Usaha Terbuka dan Batas Kepemilikan Asing; Kelima: Vokasionalisasi Pendidikan Tinggi; Keenam : Manajemen Berbasis Sekolah; dan Ketujuh : Badan Hukum Pendidikan. Regulasi-regulasi ini memang harus ada sebagai pintu masuknya kerjasama diberbagai bidang, tidak terkecuali bidang pendidikan. Artinya bahwa regulasi ini memang memberi ruang dalam tata kelola pendidikan secara lebih luas termasuk memberi ruang untuk melakukan kerjasama dengan pihak manapun demi tercapainya tujuan pendidikan yang lebih baik.
Dalam konteks ini tentu kita tidak selalu memaknai negatif sebab tata kelola pendidikan itu memang harus dinamis, harus membuka diri dengan dunia luar sebab konektifitas dalam tata kelolanya memang di butuhkan sebagai salah satu strategi dalam memajukan pendidikan secara umum. Bahwa kemudian ada program-program yang memungkinkan terjadinya praktik jual-beli atau komersialisasi Pendidikan yang dimana tidak lagi menyediakan fasilitas untuk menuntut ilmu yang terjangkau bagi setiap kalangan dan tak dapat dihindarkan.
Neoliberalisme ini hadir dan selalu membayangi berbagai elemen-elemen yang ada dalam sistem Pendidikan dengan posisi yang tidak begitu menyenangkan, maka itulah salah satu masalah yang memang banyak menghantui masyarakat kita ditengah kemampuan ekonomi yang terbatas.
Sejatinya pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berkonsep pada penciptaan tenaga manusia yang berdasarkan pada pemahaman nilai nilai dalam berkehidupan dan berkesinambungan yang bersifat jangka panjang bukan jangka pendek dan bersifat sementara. Pendidikan menempati posisi yang sangat penting bagi peradaban suatu bangsa( civilization) dimana merupakan hasil proses panjang yang dimulai dari keinginan untuk membangun suatu budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan( research) dari waktu ke waktu. Kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai proses yang akan jauh dari tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia, menjauhkan solidaritas, melahirkan manusia individual yang cenderung bersaing demo ego pribadi.
Komersialisasi
Satu hal yang masih menggelitik saya dari sistem pendidikan kita saat ini adalah adanya ruang dan peluang masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia, baik itu pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan Tinggi, bahkan mungkin pendidikan non formal. Mungkin ini maksudnya baik agar persaingan secara sehat dalam pendidikan bisa menjadi lebih menggeliat dan hasilnya bisa lebih berkualitas. Hanya saja kekhawatiran kita jika ada sekolah atau Perguruan Tinggi yang dimiliki oleh asing, dan dikelola dengan orientasi bisnis dengan tujuan benefit( materi), maka sekolah itu akan menjadi mahal dan tentunya keluar dari tujuan pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi kita.
Jika sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing benar-benar ada, tentu akan mendorong persaingan yang tajam dengan sekolah-sekolah negeri dan swasta dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat positif, karena sekolah negeri dan swasta akan dipacu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik. Namun di sisi lain, persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah dalam negeri akan dipacu menjadi sebuah institusi yang bisa saja menjadi lebih dominan orientasi bisnisnya ketimbang orientasi tujuan pendidikan yang sebenarnya, supaya mampu meningkatkan kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai fasilitas pendidikan.
Fasilitas pendidikan yang baik pada lembaga-lembaga pendidikan akan mendorong lahirnya persaingan dengan sekolah yang memiliki modal yang kuat. Kondisi ini tentu akan menciptakan persaingan yang membuat pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat. Hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Dengan demikian, maka orientasi bisnis dan komersialisasi pendidikan pada akhirnya menjadi sebuah keniscayaan yang tidak lagi mengemban misi sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi mengemban misi bisnis global, sehingga kepentingan pemilik modal akan menentukan dan mengarahkan bagaimana bentuk dan tujuan pendidikan tersebut.
Kapitalisasi pendidikan berpotensi menciptakan kesenjangan yang luar biasa tajam terhadap akses pendidikan, karena “korporasi” pendidikan akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi kepada pasar semata. Sementara jutaan masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, tanggung jawab yang utama dari pemerintah adalah menyediakan akses yang merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai, serta mengatur proses pendidikan melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan
Indonesia.
Tentu kita juga tidak abai dengan pihak luar dalam menerima bantuan atau kerjasama dalam memajukan pendidikan, semisal pertukaran siswa, peningkatan kapasitas tenaga pendidikan dan kerja sama lainnya sebab semua itu sebagai ikhtiar negara dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara umum. Bahwa kemudian akan ada hal yang kurang menyenangkan bagi semua pihak, tentu saja itu bagian dari dinamika yang berkembang. Yang terpenting bagi kita bahwa hak fundamental warga negara dalam menerima pendidikan yang murah dan berkualitas dapat terpenuhi.
Cerahnya masa depan memang harus seimbang dengan usaha yang dilakukan, begitu juga halnya dengan pemburu ilmu yang hanya mengidamkan kedudukan. Mungkin saja bagi mereka berburu ijazah adalah cara untuk memperoleh kehidupan sosial yang mereka anggap layak, bermuara pada sebuah gelar akademik dan pekerjaan yang menjanjikan. Memang disadari bahwa membangun manusia melalui pendidikan yang berkualitas, tentu bukanlah tugas yang ringan dan sederhana, tugas yang cukup berat, penuh tantangan dan dinamika. Hanya orang-orang ikhlas dan berjiwa besar yang mampu melewatinya.(**)