Oleh : Muslimin.M
Tulisan ini terobsesi dari kondisi pendidikan beberapa tahun terakhir ini dan tentu saja juga dari hasil diskusi diskusi dengan berbagai komunitas, salah satu yang menjadi hangat adalah tentang komersialisasi pendidikan dan cukup mahalnya biaya pendidikan terutama mahasiswa yang baru masuk kuliah. Bahwa kemudian pemerintah telah sungguh sungguh memenuhi hak warganya dalam mendapatkan pendidikan yang murah, tentu kita juga tidak menutup mata sebab sekolah sekolah negeri dari semua jenjang memang bebas biaya( gratis) dan itu tentu kita apresiasi sebagai ikhtiar nyata bagi warganya.
Dalam konteks ini ketika kita membicarakan persoalan liberalisasi pendidikan di Indonesia, maka penting bagi kita untuk menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya proses liberalisasi pendidikan itu sendiri. Di Indonesia liberalisasi Pendidikan bisa dikatakan terkait dengan bermula dari lahirnya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tentu bersifat sistemik pada program-program turunannya pada tataran kebijakan yaitu pertama, Badan Hukum Milik Negara; Kedua, Sekolah Bertaraf Internasional; Ketiga, World Class University; Keempat, PP No. 77 Tahun 2007 Tentang Bidang Usaha Terbuka dan Batas Kepemilikan Asing; Kelima, Vokasionalisasi Pendidikan Tinggi; Keenam, Manajemen Berbasis Sekolah; dan Ketujuh, Badan Hukum Pendidikan.
Artinya bahwa regulasi diatas memang telah memberi ruang dalam tata kelola pendidikan secara lebih luas termasuk memberi ruang untuk melakukan kerjasama dengan pihak manapun demi tercapainya tujuan pendidikan yang lebih baik. Dalam konteks ini tentu kita tidak selalu memaknai negatif sebab tata kelola pendidikan itu memang harus dinamis, harus membuka diri dengan dunia luar sebab konektifitas dalam tata kelolanya memang di butuhkan sebagai salah satu strategi dalam memajukan pendidikan secara umum.
Ketika kemudian ada program-program yang memungkinkan terjadinya praktik jual-beli atau komersialisasi Pendidikan yang dimana tidak lagi menyediakan fasilitas untuk menuntut ilmu yang terjangkau bagi setiap kalangan, dan tak dapat dihindarkan bahwa pada faktanya neoliberalisme ini hadir dan selalu membayangi berbagai elemen-elemen yang ada dalam sistem Pendidikan.
dalam dunia Pendidikan dengan posisi yang tidak begitu menyenangkan, maka itulah salah satu masalah yang memang banyak menghantui masyarakat kita ditengah kemampuan ekonomi yang terbatas.
Dampak Liberalisasi Pendidikan
Salah satu yang menjadi titik krusial dari dampak yang di timbulkan adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sangat jelas pada pasal 53, dimana potensi terjadinya berpindahnya kepemilikan ke swasta, meski memang di anulir oleh Mahkamah Konstitusi namun pada keadaan aslinya pemerintah mengganti dengan PP 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Selanjutnya ada Pasal 34 ayat 2 UU No 20 Tahun 2003 menyatakan “Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun tanpa memungut biaya”. Namun, bunyi ayat ini dianulir oleh Pasal 46 ayat 1 yang menyatakan, “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat”. Produk hukum ini tekesan tumpang tindih dan kurang tegas dan jelas.
Konsekuensi lain dari hal tersebut adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan non-formal. Dengan demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan berorientasi kepada laba.
Bermunculannya sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing akan mendorong persaingan yang tajam dengan sekolah-sekolah swasta dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat positif, karena sekolah swasta Indonesia akan dipacu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik. Namun di sisi lain, persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah swasta akan dipacu menjadi sebuah institusi bisnis yang harus mendatangkan laba, supaya mampu meningkatkan kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai fasilitas pendidikan.
Tujuannya agar dengan peningkatan fasilitas sekolah yang semakin bagus, akan mampu bersaing dengan sekolah yang memiliki modal yang kuat. Kondisi ini tentu akan menciptakan persaingan yang membuat pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat. Hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas.
Dengan demikian, maka orientasi bisnis dan komersialisasi pendidikan pada akhirnya menjadi sebuah keniscayaan yang tidak lagi mengemban misi sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi mengemban misi bisnis global. Sehingga kepentingan pemilik modal akan menentukan dan mengarahkan bagaimana bentuk dan tujuan pendidikan tersebut. Dan kepentingan pemilik modal selalu terkait dengan laba.
Liberalisasi pendidikan akan berpotensi menciptakan kesenjangan yang luar biasa terhadap akses ke pendidikan, karena “korporasi” pendidikan akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi kepada pasar semata. Sementara jutaan masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Padahal dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, tanggung jawab yang utama dari pemerintah adalah menyediakan akses yang merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai, serta mengatur proses pendidikan melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan Indonesia.
Jika pemerintah ingin membendung liberalisasi pendidikan dengan segala dampaknya tersebut, maka pemerintah harus membangun kemampuan finansialnya dalam pendidikan nasional. Target minimum 20 % anggaran pendidikan harus dipenuhi, untuk memastikan tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Kelemahan dalam manajemen pendidikan harus diperbaiki, serta korupsi dalam bidang pendidikan harus diperangi untuk memastikan anggaran tepat sasaran. Kita harus mulai bergantung kepada kemampuan diri sendiri dalam membangun pendidikan bangsa, termasuk kemampuan finansial kita.
Tentu kita juga tidak abai dengan pihak luar dalam menerima bantuan atau kerjasama dalam memajukan pendidikan, semisal pertukaran siswa, peningkatan kapasitas tenaga pendidikan dan kerja sama lainnya sebab semua itu sebagai ikhtiar negara dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara umum. Bahwa kemudian akan ada hal yang kurang menyenangkan bagi semua pihak, tentu saja itu bagian dari dinamika yang berkembang. Yang terpenting bagi kita bahwa hak fundamen warga negara dalam menerima pendidikan yang murah dan berkualitas dapat terpenuhi.
Memang disadari bahwa membangun manusia melalui pendidikan yang berkualitas, tentu bukanlah tugas yang ringan dan sederhana, itu tugas yang cukup berat, penuh tantangan dan dinamika. Tetapi apapun itu kendalanya negara tetap harus hadir dan tidak boleh kendur dengan tantangan yang menghadang.(*)