“MAPPAKALEBBI TEMMASSOMPA”
Bone,daulatrakyat.id-Alih-alih sebelum manusia megenal agama, manusia sudah memiliki kebiasaan mendekatkan diri pada yang kuasa yang dikenal dengan DEWATA. DEWATA terdapat dua suku kata yaitu DEGAGA dan WATANG yang artinya tidak ada wujud tapi dipercaya ada, manusia pada masa itu percaya bahwa setiap benda yang ada dimuka bumi ini memiliki penghuni,itulah yang dia percaya bahwa ada sesuatu yang harus dipercaya tetapi tidak berwujud. Dengan demikian manusia-manusia bugis memiliki berbagai ritual dalam mendekatkan diri pada yang kuasa, melakukan permintaan pada yang kuasa (DEWATA), dan inilah menjadi sebuah kebiasaan yang sampai pada anak cucunya hari ini.
Setelah masuknya islam paham “DEWA” yang dipahami manusia pra islam disempurnakan menjadi DEWATA SEWWAE yaitu Tuhan Yang satu (ALLAH SWT). Disnilah budaya disempurnakan oleh agama yang diajarkan oleh Rasulullah, budaya mengajarkan sebuah perilaku terpuji,prilaku yang mengharagi sesama yang dikenal dalam istilah bahasa bugis yaitu “SIPAKALEBBI” (saling menghargai). Sikap SIPAKALEBBI inilah yang menuntun manusia bugis,sehingga segala sesuatu yang berasal dari ciptaan tuhan itu wajib rasanya untuk”dipakalebbiri”(dihargai), jangankan sebuah benda pusaka,sebelum melakukan hubungan suami istri pun sudah patut rasanya melakukan prilaku “MAPPAKALEBBI “sampai dengan anak lahir bahkan sampai manusia ini meninggal pun patut untuk dipakalebbiri(dihargai). Maka dari itu tentu kita selaku manusia bugis harus paham dan harus tau bahwa apa yang sudah menjadi kebiasaan dan sudah menjadi marwah manusia bugis adalah salah satu bentuk “MAPPAKALEBBI TEMMASSOMPA” (Menghargai ciptaan tuhan dengan sepenuh hati tanpa disembah). Tentu kita harus bedakan kapan kita harus mappakalebbi,kapan kita harus massompa,karena “mappakalebbi” adalah sebuah ajaran budaya,sedangkan “massompa” adalah bentuk interaksi antara manusia dengan Tuhan Nya, namun demikian tuhan sangatlah senang dengan manusia yang menghargai ciptaan Nya, jadi tidak ada alasan lagi bahwa budaya dan agama saling dibenturkan dengan alasan apapun,dan dikenal pula dalam falsafah bugis “ADE’ TAMMADDUSA SARA’,SARA TEMMADUSA ADE” dalam artian Agama tidaklah merusak adat,begitupula dengan adat tidak pernah merusak agama, bahkan Rasulullah Saw diturunkan dimuka bumi ini,untuk menyempurnakan adat istiadat seorang manusia sebagaimana mereka berperilaku dengan baik terhadapa ciptaan tuhan Nya.
Kata “BONE” adalah salah satu jenis pasir yang paling halus yang terpisah diantara pasir-pasir lainnya. Jika dikaitkan dengan manusia bugis bone maka tentu perilaku-perilaku yang wajib dilakukan manusia bugis bone ini adalah perilaku yang halus, perilaku yang dengan sepenuh hati dalam kehidupannya sehari-hari. Seperti yang di contohkan oleh puangta PETTA MALAMPE’E GEMME’NA dikenal dengan manusia dengan perilaku yang sangatlah tulus dan baik sesama masyarakat, bahkan membuat orang-orang disekitarnya kagum akan perilaku beliau. Cara berperang didalam medan perang pun beliau tetap memiliki adat berperang tidak dengan membabi buta lawan. Setelah beliau wafat,digantikan oleh ponakannya yaitu LA PATAU MATANNA TIKKA yang dikenal pula raja yang mahsyur dimasa pemerintahannya.
Didalam catatan sejarah,”BONE” dikenal sebagai kerajaan besar yang pernah dipimpin oleh raja-raja yang mahsyur,berperilaku sopan santun yang sampai hari ini harus tetap dilestarikan dengan cara menghargai warisannya dengan sikap mappakalebbi. Dalam momentum hari jadi bone tahun ini ,maka sepatutnya lah kita berbenah, kembali ke kultur kita yang telah terkikis oleh zaman dengan mempertahankan marwah dan nilai nilai ke bone-an kita yaitu “Mabbulo Sipeppa”.Dan dengan sikap mappakalebbi juga inilah yang akan mempertahankan budaya BONE serta mempertahankan nilai-nilai ke BONE an yang MALEBBI dan dikenal dengan BONE BERADAT.
Kembali kita bumikan untuk kemajuan daerah yang kita cintai ini,bone bukan milik siapa-siapa, tapi milik segenap orang bone.
“SIPAKATAU, SIPAKAINGE, SIPAKALEBBI”
Selamat Hari Jadi Bone 692 Jayalah Bone.