WHEN THE WORLD NEEDS CHINESE HELP
Oleh; Arsyad
Daulatrakyat.id-Indonesia telah disibukkan dengan wabah menakutkan dan berpotensi menimbulkan degradasi mental yang menghambat aktifitas sosial hingga kenegaraan. Musibah Global ini menjadi topik yang mendominasi rilisan jurnalis dari nasional hingga dunia Internasional. Pasalnya, dalam laporan beberapa media, terjangannya yang mengancam jiwa di beberapa negara seperti Cina, Amerika Setikat, Italia, dan lainnya dengan angka yang melejit dalam durasi yang tak terprediksi ini juga telah masuk di negeri Ibu Pertiwi.
Merespon ancaman tersebut, pemerintah segera mengambil langkah pencegahan demi memutus mata rantai penyebaran wabah tersebut. Peristiwa ini menjadi alarm yang tak lagi menolerir beberapa aktifitas kenegaraan untuk dihentikan sementara waktu. Seiring dengan perkembangan angka hasil report dari media, menuntut kebijakan pemerintah untuk mengatasinya dengan sigap dan solutif. Mulai dari kebijakan Lock down, hingga pada gerakan pola hidup sehat yang berusaha diaplikasikan secara bersama.
Upaya penanggulangan yang dilakukan tiada henti tentunya tak bisa tertuntaskan jika hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja, tapi dibutuhkan juga usaha kerja sama pencegahan dari masyarakat secara keseluruhan. Namun, di tengah solusi yang diberikan dari pihak pemerintah berupa Lock Down ini, di wilayah tertentu, telah muncul gejolak dan komentar dari beberapa kelompok masyarakat yang tidak menerima dan masih saja menginginkan aktifitas berjama’ah. Alasannya adalah takdir manusia diserahkan kepada Sang Pencipta, bukan ke wabahnya. Padahal kaidah fiqih terdapat anjuran “menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan.
Sejumlah narasi pun berderet di dinding facebook, Whatshap Aplikasi, Instagram, Tweeter, dan lain sebagainya. Narasi pro dan kontra pun berkompetisi meraih empati rasional publik. Mulai dari tulisan biasa, hingga pada komentar pakar turut mewarnai dan turut membantu kebijakan pemerintah.
Seperti penulis bestseller Yuval Noah Harari pada tanggal 20 Maret 2020 menuangkan komentarnya yang berjudul “The World After Coronavirus” memberikan dua pokok yang dihadapi yang penting untuk diketahui. Dalam narasinya menyapaikan redaksi pokok bahwa “we face two particularly important choices. The first is between totalitarian surveillance and citizen empowerment. The second is between nationalist isolation and global solidarity”. Maksudnya kira-kira bahwa kita menghadapi pilihan yang sangat penting. Pertama, antara pengawasan totaliter dan peberdayaan warga. Kedua, antara isolasi nasional dan solidaritas global.
Dalam tulisannya yang berbahasa Inggris dan agak rumit untuk orang awam seperti penulis. Tapi setidaknya ada poin-poin penting dari kosa kata yang dimengerti termasuk kebutuhan rencana global. Pada poin akhir dari narasinya, Yuval Noah Harari mengatakan “We Need a Global Plan” bahwa kami membutuhkan rencana global. Kebutuhan global ini berupa kerja sama antara semua negara di dunia untuk menuntaskan ancaman pandemi COVID-19 ini. Tawaran kerja sama global seakan mengajak kita untuk menghapus sekat peradaban dari tesis Samuel P. Huntington tentang “The Clash Of Civilization and The Remaking of The World Order” dengan berbalik arah dan beranjak pada “The Peace of Civilization”.
Pada sektor keagamaan, Prof. Quraish Shihab juga berbicara tentang perilaku penganut agama dalam menghadapi sebuah wabah. Penulis Tafsir Al-Misbah tersebut menyampaikan kisah saat terjadi cuaca yang kurang baik, maka redaksi ajakan sholat berjama’ah diganti dari hayyalassolaah (Mari kita sholat) menjadi shollu fii buyutikum (Sholatlah di rumahmu masing-masing).
Disampaikan dalam Syamsulrijal dalam tulisannya yang berjudul “Kisah Umar Bin Khattab dan Wabah Korona”. Dalam kisahnya, ketika tiba di suatu daerah bernama Syargh, Umar bin Khattab, mendapat kabar, bahwa Syam daerah yang ditujunya, sedang dilanda wabah kolera. Penyakit yang disebabkan oleh virus tertentu, dan bisa menyebar ke orang lain. Mendengar kabar demikian, Umar Bin Khattab mengambil keputusan untuk menunda perjalanannya ke Syam.
Seperti pesan Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin bahwa prinsip hukum Islam yakni menghilangkan kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan.
Meskipun banyak penjelasan dari penulis hingga pakar yang diharapkan menjadi rujukan perilaku masyarakat, tetap saja masih ada pandangan yang berbeda. Khususnya masalah agama, masih ada kelompok yang ngotot untuk tetap melaksanakan sholat berjama’ah dan tak sejalan dengan keadaan darurat (daruriyah). Anjuran pemerintah tersebut direspon dengan bekal keyakinan bahwa mereka tidak takut terhadap wabah tersebut dan mereka takutnya kepada kepada Allah saja.
Menyaksikan bantahan terhadap ilmuwan dan para pakar, maka semakin kuatlah potensi tulisan Tom Nicols (The Death of Expertise) untuk dibenarkan. Bahwasanya eksistensi suara dan aspirasi pakar terancam tenggelam dari pernyataan yang orang-orang yang berkuasa atas kelompoknya. Tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran dan keterangan-keterangan ilmiah, orang berada lebih berpotensi mempengaruhi publik ketimbang para peneliti yang ahli di bidang kepakarannya.
Di tengah situasi rumit keadaan, Cina telah hadir di panggung dunia memperlihatkan prestasinya dalam penyelamatan heroik terhadap rakyatnya dalam melawan serangan wabah COVID-19. Prestasi yang diperlihatkan mulai dari korbannya yang berjumlah besar tapi mampu diatasi dengan kerja sama antara pemerintah, rakyat, dan para ahli medis. Good Acivement tersebut menjadikan Cina sebagai percontohan dunia dalam menangani musibah besar dengan cara menakjubkan. Sebagaimana dilansir oleh detiknews 10 Maret 2020, bahwa “WHO sebut 70 persen pasien Corona China Berhasil Sembuh”.
Pemberitaan dari CCN Indonesia Jumat, 20 Maret 2020 menerangkan bahwa beberapa pekan terakhir Cina dilaporkan telah mendonasikan alat pemeriksaan virus corona ke Kamboja. Cina juga menerbangkan bantuan ventilator, masker, dan petugas medis ke Italia dan Prancis. Selain itu, mereka juga sementara mengupayakan bantuan serupa untuk Filipina, Spanyol, dan beberapa Negara lainnya.
Dilansir juga dari Liputan6.com bahwa Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian menuturkan, rakyat Tiongkok di bawah kepemimpinan presiden Xi Jinping telah bersatu dan bekerja sama untuk memerangi epidemi Virus Corona COVID-19. Seraya menyerukan Tiongkok dan Indonesia serta seluruh negara di dunia bekerja sama untuk menjaga kesehatan manusia.
Lantas, layakkah Cina dikatakan memiliki kekuatan pemerintahan yang lebih dari Negara lain? Layakkah Cina menjadi percontohan dalam beragama karena tak terdapat riak-riak agama dalam menghadapi wabah besar ini? Ataukah Cina telah layak menjadi rujukan dunia dalam berilmu sebagaimana dalam sebuah pembelajaran dalam Islam “Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Cina?”. Pasalnya, mereka telah menjadi percontohan dalam penyelamat dunia dari pandemi COVID-19.
Namun bagaimana dengan Clan yang anti Cina? bukankah banyak yang tidak menginginkan keberadaan mereka di negeri ini? Aahhh sudahlah, riak anti cina sebaiknya diredam aja. Sekarang yang terpenting adalah dunia khususnya Indonesia butuh solusi untuk keluar dari bencana global ini. Semoga Cina segera membantu.
Mungkin ini yang dimaksud oleh Yuval Noah Harari, kerja sama antar Negara sangatlah dibutuhkan terutama tim medis Cina yang telah berpengalaman. Juga kebijakan pemerintahnya menjadi penting untuk dicontoh oleh Negara-negara terjangkit COVID-19 tersebut. Mungkin ini juga alasan seorang LEVI SEELEY menempatkan Cina sebagai Rujukan dalam sejarah pendidikan di dunia sebagaimana yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “HISTORY OF EDUCATION”. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengatakan bahwa “The World Needs Chinese Help”.

Berita
Srikandi Luwu Raya Fadriaty Asmaun Reses dan Silaturrahmi di Suli Barat
Luwu daulatrakyat.id – Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dari Fraksi Demokrat Ir.